Fadli Zon: Tolak Rencana Redenominasi, Pemerintah Harus Fokus Lakukan Ini

Jakarta, Liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai wacana Bank Indonesia dan pemerintah meredenominasi rupiah tidak punya urgensi sama sekali dan tidak tepat di tengah kesulitan ekonomi. Jika redenominasi tetap dilakukan menurut Fadli, hanya menambah masalah.

“Saya kira pemerintah sebaiknya fokus saja pada APBN, disiplin menjaga anggaran dan bekerja keras mencapai target pendapatan, agar defisit kita tak terus-menerus membesar. Jangan sampai pemerintah melanggar undang-undang keuangan negara karena abai menjaga disiplin anggaran,” kata Fadli lewat rilisnya Sabtu (29/7/2017).

Dijelaskannya, kunci untuk melakukan redenominasi, selain indikator-indikator makro ekonomi yang sering dikemukakan BI dan Menko Perekonomian, pertama-tama adalah kepercayaan publik yang tinggi pada pemerintah. “Dan kepercayaan itu yang tak banyak dimiliki oleh pemerintah sekarang,” tegasnya.

Sesudah wacana pemindahan ibu kota yang bikin heboh kemarin lanjutnya, sebaiknya pemerintah tak gampang melontarkan isu yang akan membuat isu tersebut juga hanya akan dianggap sebagai lelucon. Soal kepercayaan ini ujar Fadli, penting sekali, karena ini menyangkut nilai mata uang dan penerimaan masyarakat.

“Selama rekam jejak kebijakan ekonomi pemerintah tidak kredibel, gampang berubah-ubah, seperti ancaman Menteri Keuangan untuk menyandera 5.000 peserta tax amnesty kemarin, kebijakan redenominasi tak akan dipercayai masyarakat dan pelaku ekonomi lainnya. Penting sekali untuk mendapatkan dukungan KADIN, pelaku bursa, dan pelaku ekonomi lainnya, selain tentu saja masyarakat secara umum,” sarannya.

Selain soal kepercayaan dan kredibilitas kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, kisah sukses redenominasi sejauh ini memang hanya terjadi pada negara-negara yang jumlah penduduknya kecil dan luas wilayahnya juga sempit, seperti Bulgaria atau Turki. “Sedangkan negara-negara dengan jumlah penduduk besar dan berwilayah luas, seperti Rusia, misalnya, banyak yang gagal menerapkan kebijakan ini. Ini harus jadi catatan,” tegasnya.

Pada akhirnya kata politikus berdarah Minang itu, bisa atau tidaknya kebijakan redenominasi dilaksanakan sangat tergantung pada kinerja pemerintah dalam menjaga perekonomian nasional. Jika pemerintah dan BI gagal mengendalikan variabel-variabel utama ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, atau pengangguran, gagasan redenominasi pasti gagal.

“Nah, masalahnya, angka inflasi kita yang saat ini rendah itu, yang diklaim BI sebagai situasi yang tepat untuk memulai kebijakan redenominasi, pendorongnya bukanlah karena keberhasilan pemerintah menjaga perekonomian, namun justru karena kegagalan pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat. Jadi, angka inflasi yang kondusif sekarang ini bukanlah indikator positif perekonomian, tapi sebaliknya,” kata wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat itu.

Diingatkan Fadli, untuk mengawal redenominasi, dibutuhkan sokongan lembaga penegak hukum yang tak tebang pilih. Kebijakan redenominasi rentan melahirkan moral hazard. Misalnya, dalam kasus konversi harga lama ke harga baru. Mungkin saja ada pengusaha nakal yang tak patuh, sehingga mereka mengkonversi harga lama Rp25.000 menjadi Rp27 dalam harga baru, misalnya. Padahal seharusnya harga barunya Rp25.

“Redenominasi rentan melahirkan moral hazard semacam itu. Jika penegakkan hukum kita masih seperti saat ini, bisa kita bayangkan betapa rawannya kebijakan redenominasi ini akan melahirkan inflasi dan hiperinflasi,” imbuhnya.

Fadli mencatat bahwa isu redenominasi ini selalu digulirkan menjelang tahun-tahun politik. “Dulu digulirkan menjelang Pemilu 2014, dan kini kembali digulirkan menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Tapi, sekali lagi, redenominasi bukanlah persoalan ekonomi yang urgen kita kerjakan. Pemerintah tak seharusnya menyibukkan diri dengan isu redenominasi. Rencana ini sebaiknya dibatalkan,” pungkasnya. (zul)

 

Komentar