DPR Minta Polri Terbuka dan Tuntas Usut Penyebar Kebencian Di Media Sosial

Jakarta, liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI DR Fadli Zon menyatakan pengungkapan kasus Saracen, yang disebut Polri sebagai kelompok penjual jasa penyebar hoax dan kebencian di media sosial harus dilakukan secara terbuka dan tuntas. Tujuannya menurut Fadli, agar tidak mengundang spekulasi dan fitnah nantinya.

“Kita mengapresiasi kerja kepolisian dalam pengungkapan kasus bisnis hoax dan isu-isu SARA. Tak bisa disangkal, hal-hal semacam itulah yang selama ini telah membuat demokrasi kita jadi tidak sehat,” kata Fadli, di Jakarta Rabu (30/8/2017).

Namun, meskipun polisi sejak awal mengekspose kasus Saracen sebagai kasus besar terkait industri hoax dan penyebar kebencian di media sosial, kasus ini ujar Fadli, kan baru bergulir, sehingga masih panjang prosesnya. “Apakah dugaan-dugaan atau tuduhan-tuduhan awal itu akan terbukti, dalam arti bisa diungkap dalang atau pengguna jasanya, inilah yang harus sama-sama kita kawal dan perhatikan,” kata dia.

Publik ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, tentu berharap agar dalam menjalankan tugasnya Polri bisa bekerja secara transparan dan tuntas, agar tidak melahirkan spekulasi dan fitnah di masyarakat. Jika benar kelompok tersebut menjalankan bisnis jasa penyebaran hoax, kebencian, dan isu-isu terkait SARA, tentu harus segera ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku.

“Kita tidak ingin kasus Saracen ini nantinya berakhir antiklimaks seperti kasus pengungkapan mafia beras yang bikin heboh beberapa pekan lalu itu, di mana ekspose awalnya bombastis, namun perkembangan kasusnya kemudian ternyata tak sebesar yang diekspose di awal,” kata Fadli.

Hoax dan ujaran kebencian menurut wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat oru memang telah memperkeruh perpolitikan nasional, sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir. Jika dibiarkan, hal itu bisa jadi bumerang bagi kehidupan kebangsaan kita yang plural dan majemuk. Untuk itu harus ada upaya penegakkan hukum yang tegas untuk mengatasinya dan tidak boleh ada tebang pilih di dalamnya.

“Terkait dengan hal itu saya ingin mengkritik Presiden yang berkali-kali mengumpulkan buzzer-buzzer politik di Istana. Di tengah wabah ‘hoax’, ‘hate speech’, dan eksploitasi isu SARA di kalangan pengguna media sosial kita, mengumpulkan para buzzer pendukung pemerintah adalah bentuk komunikasi politik yang bermasalah dari seorang kepala negara. Kegiatan semacam itu sebaiknya disudahi, karena hanya akan merusak wibawa negara dan kontraproduktif dengan usaha Polri yang sedang membongkar mafia penyebar hoax dan kebencian di media sosial,” pinta Fadli.

Tindakan Presiden yang sering mengundang buzzer ke Istana kata Fadli, hanya memperkuat kesan di masyarakat jika pemerintah sebenarnya menerapkan standar ganda dalam urusan ‘hoax’ dan ujaran kebencian ini. Sebab, jika menyangkut para ‘buzzer istana’, tidak pernah ada tindakan hukum terhadap mereka, meskipun misalnya cuitan atau posting mereka di media sosial kerap kali meresahkan dan melahirkan perselisihan di tengah masyarakat.

“Fakta tersebut adalah tantangan bagi Polri. Mereka harus menyadari posisinya jika Polri adalah alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Untuk itu mereka tidak boleh menerapkan standar ganda dalam pengusutan kasus ‘hoax’, ‘hate speech’, dan SARA di media sosial,” kata Fadli.

Jika benar Saracen adalah industri jasa yang membisniskan penyebaran hoax, isu-isu SARA dan ujaran kebencian, maka polisi imbuh Fadli harus bisa membongkarnya secara tuntas dan transparan. Bukan hanya ketika pengguna jasanya adalah pihak-pihak yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah, namun juga jika dalam proses penyidikan ternyata temuannya justru mengarah kepada pihak-pihak pendukung rezim yang sedang berkuasa.

“Tapi dari berbagai perkembangan berita yang ada, kelihatannya kasus ini tak sebesar eksposenya. Saya cenderung menilai kasus “saracen” ini sekadar dagelan baru,” pungkasnya.

Komentar