Enam Senator dan Satu Anggota DPRD Gugat UU Pilkada Ke MK

Jakarta, liputan.co.id – Enam Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan satu anggota DPRD Barito Utara, Kalimantan Tengah menggugat Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Jumat (25/7/2017).

Enam pihak penggugat tersebut terdiri dari Akhmad Muqowam (anggota DPD asal Jawa Tengah, M. Mawardi (anggota DPD asal Kalimantan Tengah), Abdurrahman Lahabato (anggota DPD dari Maluku Utara), M. Syukur (anggota DPD asal Jambi, Intsiawati Ayus (anggota DPD daerah pemilihan Riau, dan A. Kanedi (Anggota DPD asal Bengkulu, serta anggota DPRD Barito Utara, Taufik Nugroho.

Para pemohon menurut juru bicara penggugat Akhmad Muqowam mendasarkan diri atau legal standing pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang berbunyi, “Pemohon adalah Pihak yang menganggap hak dan/atau Hak Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan WNI: b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dengan undang-undang; c. Badan hukum publik atau Privat; atau e. Lembaga Negara,” kata Muqowam, dalam rilisnya, Jumat (25/7/2017).

Dijelaskannya, bahwa para Pemohon I s/d VI kebetulan anggota DPD RI yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas jaminan dan perlindungan hukum yang adil, hak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) hurus s UU No 10 tahun 2016 berdasarkan penalaran yang wajar.

“Selain menjelaskan materi gugatan sesuai dengan pedoman baku dan substansi dari perundangan, kami pemohon menjelaskan hal yang berkaitan dengan Lembaga Politik, Lembaga Legislatif, Lembaga Eksekutif, Jabatan Publik, Jabatan Politik, dan Jabatan Karir,” ujar dia.

Menurutnya, lembaga politik adalah terkait dengan pengelolaan negara dan berurusan dengan kebijakan publik.

Secara teoritik lanjutnya, dikenal Jabatan Publik Politik dan Jabatan Publik Eksekutif. Jabatan Publik Politik, adalah jabatan publik yang ditetapkan melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat (election) mulai dari DPRD Kabupaten/ Kota, Bupati/ Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota, DPRD Propinsi, Gubernur/ Wakil Gubernur, DPD RI, dan DPR RI.

Sedangkan Jabatan publik eksekutif antara lain kata Muqowam, ditetapkan melalui Pengangkatan (appointee) meliputi dikategorikan ASN, Kepolisian Negara dan TNI.

Oleh karena itu ujarnya, para Pemohon memohon pada MK agar mampu memberikan putusan sesuai jiwa konstitusi (soul of constitution) yang secara political science benar dan dapat dipertanggung jawabkan Dalam bingkai negara hukum.

“Biarlah ruang jabatan publik politik itu menjadi ruang gerak dan ruang pengabdian politisi, dan tentu tidak akan mengganggu ruang gerak yang dimiliki oleh pejabat dari jabatan publik eksekutif, dalam hal ini antara lain ASN, Polisi dan Tentara/ TNI. Sebab posisioning dan ruangnya memang berbeda, tetapi ini atas nama kesetaraan (equality before the law) sebagai suatu kebenaran,” terangnya.

Oleh karena itu, para penggugat tutur Senator itu, mengingat jabatan publik politik adalah menjadi ruang publik politisi, seharusnya sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum tidak ada halangan, apalagi mundur misalnya.

“Sebaliknya, jika politisi mau jadi Polisi, Tentara atau ASN maka harus mundur dari jabatan publik politik,” tegasnya.

Lebih lanjut dia jelaskan, ketentuan UU nomor 10 tahun 2016 menentukan bahwa anggota DPR, DPD, dan DPD harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah. “Ketentuan ini bersifat diskriminatif karena memperlakukan berbeda antara anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berkapasitas sebagai pejabat publik politik dengan Kepala Daerah (incumbent) yang juga berkapasitas sebagai pejabat publik politik karena sama sama dipilih dalam pemilihan (election). Bagi Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya tidak wajib mundur. Sedangkan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah pada dapilnya, harus mengundurkan diri,” imbuhnya.

Menurut Muqowam, disinilah letak diskriminasi tersebut. Dalam kapasitas yang sama diperlakukan berbeda. “Maka dari itu pemohon memohon agar ketentuan anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai anggota DPR, DPD, dan DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah apabila mencalonkan diri di luar daerah pemilihannya,” pungkasnya.

Komentar