Fadli Zon: Ketimpangan adalah Sumber Radikalisme dan Konflik Horisontal

Jakarta, liputan.co.id – Wakil Ketua DPR RI Dr Fadli Zon menilai merenggangnya kohesi sosial dan munculnya ketegangan di tengah-tengah masyarakat saat ini tidak hanya diakibatkan oleh sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tetapi karena persoalan ketimpangan.

Hal tersebut dikatakan Fadli saat berorasi Ilmiah dalam rangka Wisuda ke-77 Program Doktor, Magister, Profesi, Sarjana, dan Diploma Universitas Jambi (UNJA), di Balairung Universitas Jambi, Sabtu, (12/8/2017).

Bersama wisudawan dan wisudawati, hadir antara lain oleh Rektor UNJA, Prof. Johni Najwan, S.H., M.H., Ph.D. beserta jajaran wakil rektor; Pimpinan Komisi X DPR RI, Sutan Adil Hendra.

Merenggangnya kohesi sosial yang kemudian meletup ke permukaan seolah sebagai bentuk ketegangan dan gesekan sosial berbasis SARA—yang selama ini terjadi menurut Fadli sebenarnya selalu berlangsung pada kondisi struktural tertentu yang sama sekali tak bersifat SARA. “Struktur yang telah dan selalu membuat gesekan itu muncul selama ini, dalam catatan saya, tak lain adalah ketidakadilan sosial. Jika struktur ekonomi-politik mulai dan makin tidak adil, maka pada saat itulah gesekan sosial terjadi dan kohesi sosial mulai melonggar,” ujarnya.

Soal ketimpangan ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Pasar bebas dan demokrasi yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat lanjutnya, sangat rentan melahirkan konflik dan instabilitas. “Inilah sebenarnya yang menjadi ancaman terbesar kebhinekaan kita. Problemnya, pemerintahan saat ini terus-menerus fokus pada pembangunan infrastruktur yang tidak punya implikasi jangka pendek bagi kehidupan ekonomi rakyat, dan mengabaikan hadirnya problem ketimpangan ini,” jelas Fadli.

Wakil Ketua Ketua Umum Prati Gerindra ini menilai mencuatnya masalah ketimpangan dalam beberapa tahun terakhir seharusnya membuat semua pihak meninjau kembali corak pembangunan yang selama ini berlangsung. Ke depan, corak pembangunan harus semakin inklusif. Untuk menciptakan pembangunan inklusif tersebut, persis di situ terletak urgensi gagasan Demokrasi Ekonomi.

Setidaknya kata Fadli, ada tiga prinsip yang membuat kenapa gagasan Demokrasi Ekonomi dibutuhkan, yaitu prinsip keadilan sosial, prinsip partisipasi, dan prinsip intervensi. “Pemerintah tidak boleh membiarkan distribusi kesejahteraan diatur oleh mekanisme pasar. Pemerintah harus terlibat aktif dalam membentuk struktur perekonomian yang adil melalui sejumlah intervensi struktural,” ungkap Fadli.

Karena itu, wakil rakyat dari Jawa Barat itu mengingatkan agar ke depan Pemerintah lebih fokus melakukan kegiatan pembangunan yang berhubungan dengan sektor pertanian dan perdesaan, tempat di mana sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya. Bagi negara agraris seperti Indonesia, mengatasi ketimpangan desa-kota memang berimplikasi serius. Daya dorongnya bagi perekonomian nasional sangat besar. Inilah yang akan jadi perekat demokrasi dan kebangsaan Indonesia.

Di bagian akhir orasi ilmiahnya, Fadli memberikan pesan khusus kepada para wisudawan/wisudawati, terutama mereka yang baru lulus diploma dan sarjana. “Jika Anda ingin ikut mengatasi ketimpangan, atau menjaga Pancasila dan kebhinekaan kita, maka selepas belajar dari Universitas Jambi ini, jangan hanya jadi sarjana pemburu kerja, tapi jadilah wirausahawan,” pesan Fadli Zon.

Pahamilah bahwa perekonomian mayoritas rakyat Indonesia saat ini ditopang oleh usaha kecil dan mikro, atau yang dulu oleh Bung Hatta disebut sebagai ”ekonomi rakyat”. “Itu sebabnya sangat ironis jika perguruan tinggi kita hanya bisa menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang hanya bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar atau asing, dan sangat jauh dari realitas ekonomi rakyat,” pungkasnya.

Komentar