Pakar Hukum: Sedikit Perppu Terbit Pertanda Pemerintah Kredibel

Jakarta, liputan.co.id – Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, menyarankan Presiden Joko Widodo tidak berlebihan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Alasannya, Perppu sebagai aturan dalam situasi negara darurat itu menandai kegamangan atau ketidakmampuan pemerintah menghadapi situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

“Semakin sedikit pemerintah mengeluarkan Perppu maka pertanda semakin kredibel pula pemerintahan bersangkutan,” kata Jimly, kepada wartawan di sela-sela diskusi publik, di ruang Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Dijelaskannya, pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto hanya mengeluarkan delapan Perppu selama 32 tahun (1966-Mei 1998) berkuasa. Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan 18 Perppu selama 10 tahun (2004-2014) berkuasa.

“Era Presiden RI ke-7 Joko Widodo, yang baru memasuki tahun ke-3 (2014-2019) berkuasa, telah menerbitkan tiga Perppu,” ujarnya.

Perppu tersebut lanjutnya, yaitu Perppu nomor 1 tahun 2015 pada 18 Februari 2015 tentang perubahan UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menambahkan Pasal 33A dan Pasal 33B untuk perkuatan KPK. Disusul Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lantaran marak kasus tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Juga Presiden Jokowi menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk membubarkan  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Hanya saja, diakuinya, proses Perppu menjadi UU membutuhkan persetujuan DPR RI. Persoalannya, Perppu ditolak maka amanat UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan UU mengharuskan Presiden dan DPR duduk bersama membuat UU pembatalan Perppu.

“Padahal sederhana saja, Perppu itukan diterbitkan presiden seharusnya ketika ditolak DPR maka presiden cukup menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan Perppu,” pungkasnya.

 

Komentar