Anak Buah Prabowo: Kesimpulan Data BPS, Daya Beli Masyarakat Turun

Jakarta, liputan.co.id – Pernyataan pemerintah yang mengklaim daya beli masyarakat naik merupakan sebuah distorsi fakta yang diungkap oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Sebab menurut anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, BPS merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2017 hanya 5,01 persen, turun dari periode yang sama pada 2016 sebesar 5,18 persen.

“Penurunan itu ditandai melemahnya konsumsi rumah tangga yang menjadi indikator untuk mengukur daya beli,” kata Heri, dalam rilisnya, Jumat (6/10/2017).

Konsumsi rumah tangga kuartal II 2017 lanjutnya, hanya mencapai 4,95 persen atau naik tipis dibandingkan kuartal I 4,94 persen. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi rumah tangga pada kuartal II tahun lalu yang mencapai 5,07 persen.

“Kesimpulannya, terjadi distorsi pada daya beli masyarakat. Itu tak bisa dibantah. Dan atas hal tersebut, pemerintah jangan tiba-tiba menjawabnya dengan enteng bahwa itu adalah politisasi. Pemerintah mestinya lebih peka dan tidak antikritik,” tegas dia.

Soal shifting dari offline ke online menurut politikus Partai Gerindra itu, tidak bisa jadi pegangan. Sementara itu, survei keyakinan masyarakat terhadap ekonomi menunjukkan pelemahan sejak Mei 2017. Terakhir, September 2017 menurun 0,3 poin dari angka Agustus 2017. Pelemahan itu disebabkan oleh penurunan indeks penghasilan.

“Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membeberkan keluhan sepinya gerai para anggotanya. PT. Indoritel Makmur Internasional Tbk, misalnya, pada Semester I tahun 2017 mengalami penurunan laba bersih hingga 71,03 persen dari periode yang sama tahun lalu, atau dari Rp105,5 miliar menjadi Rp30,5 miliar. Penyebabnya, adalah penurunan daya beli masyarakat,” ungkap Heri.

Dia jelaskan, selama Januari-Juli 2017 penjualan sepeda motor merosot sebesar 13,1 persen. Pada Juni 2017 malah turun 30 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Bahkan ujarnya, Gabungan Pengusaha Makanan Dan Minuman Indonesia (GAPMMI) tegas menyatakan bahwa daya beli masyarakat turun 10 persen dibanding tahun lalu.

“Lesunya transaksi jual beli pun dirasakan juga oleh warung-warung kopi dengan segmen pasar anak-anak muda. Kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi. Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, kini tidak ada lagi,” ujarnya.

Bukti lain kata Heri, adalah penjualan yang menurun di masa jelang hari raya lalu di pusat perbelanjaan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penjualan rata-rata pedagang Tanah Abang diprediksi melorot sampai 30 persen dibanding tahun lalu. Kemerosotan 50-70 persen dikabarkan terjadi merata di Blok A, B, dan F.

“Penurunan daya beli jangan dianggap sepele. Melemahnya daya beli tidak tertutup kemungkinan karena arah kebijakan ekonomi yang belum mampu menciptakan trikcle down effect. Semua masih didominasi oleh sektor finansial tak langsung. Sektor-sektor produktif masih loyo. Itu semua adalah fakta yang tak mungkin bisa berbohong,” pungkasnya.

Komentar