Jakarta, liputan.co.id – Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar menilai jajaran Direksi PT PLN (Persero) menjadi gemuk di bawah kendali Sofyan Basir. Jumlah direksi di zaman Nur Pamudji dan Dahlan Iskan menurut Junisab, cuma lima orang, sekarang malah menjadi 13 orang.
“Jajaran direksi ada tujuh orang, direktur bisnis regional dan dua direktur pengadaan. Lalu di bawah mereka menjadi harus ada 40-an orang kepala divisi. Begitu juga kantor wilayah. Dahulu, termasuk Dili, hanya ada 10 orang, sekarang hampir di tiap provinsi ditempatkan kantor wilayah,” kata Junisab, dalam rilisnya, Jumat (13/10/2017).
Bahkan lanjutnya, dahulu kantor wilayah membawahi Unit Induk Pembangunan (UIP) hanya lima orang, sekarang 16, sedangkan general manager (GM) yang dahulu hanya 15, sekarang 54 orang.
Padahal tegasnya, sekarang era komputerisasi dan digitalisasi yang membuat peran manusia semakin berkurang. Tapi itu tidak berlaku bagi Sofyan Basir.
“Ukuran kedua, bisa jadi karena dia mampu menempatkan ‘orangnya’ di posisi keuangan, SDM, pengadaan dan satuan pemeriksa interen (SPI). Ini jarang bisa dilakukan oleh direktur utama BUMN pasca Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” imbuhnya.
Bersamaan dengan itu ujar Junisab, gaji, biaya operasional dinas, biaya perobatan, bonus dan potongan dana pensiun dinaikkan jor-joran, ini menjadi mungkin ukuran ketiga.
Parameter keempat kata Junisab, bagi Sofyan yang mantan Dirut BRI, mungkin karena Maxpower, anak usaha bank ‘kaya’ di dunia, Standard Chartered ikut membangun dua PLTG sebesar 40MW.
Indikator kelima,menurut Junisab, terjadi pendiaman kasus penggelembungan biaya pembelian mesin untuk PLTD padahal resume kerugian PLN sampai sebesar Rp141.004.354.110.
“Itu didiamkan Sofyan padahal sudah dilaporkan oleh tim SPI melalui nota dinas nomor 00485/SPI.02.01/SPI/2015,” ungkapnya.
Mantan anggota Komisi III DPR RI ini menduga laporan itu ‘didrop’ atas perintah Dirut kepada pimpinan SPI. Seluruh data lengkap berupa kertas kerja sudah disampaikan juga ke KPK tahun lalu namun lagi-lagi mandeg.
“Keenam, tahun 2015 ada pengadaan sebesar Rp7,6 triliun di PT PLN Batam, anak perusahaan PT PLN, dengan metode penunjukan langsung. Setelah ditelusuri SPI ternyata ditemukan perbuatan melanggar hukum yang dirancang sedemikian rupa. Modusnya diduga diawali perbincangan lisan antar direksi guna menugaskan pengadaan 20 unit mesin MPP dengan daya masing-masing 25 MW,” kata dia.
Untuk mengelabui tertib administrasi lanjutnya, maka seolah-olah diberi penugasan. Setelah Direksi PLN memberi penugasan lalu dilakukan proses pengadaan dengan melakukan market reset memanggil tiga perusahaan meminta penawaran kesanggupan memenuhi permintaan dalam waktu enam bulan.
“Padahal pengadaan dengan modus seperti itu tidak sesuai dengan aturan, sehingga Maret 2016 dibuat perubahan atas peraturan pengadaan yang mengizinkan penunjukan langsung,” ungkapnya.
Dia menduga perubahan itu dibuat tanggal mundur seolah-olah perubahan dilakukan sejak 1 Oktober 2014 agar penunjukan sebesar Rp7,6 triliun itu terkesan sah.
“Lagi-lagi, KPK yang sudah memegang semua data tersebut terbukti hanya diam,” tutur Junisab.
Terakhir lanjut Junisab, ini mungkin yang paling kuat untuk membuktikan kekayaan PLN seperti sesumbar Sofyan adalah saat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan pemberian pesangon terhadap delapan orang yang bertugas di Sekretariat Dewan Komisaris PT PLN.
“Sedemikian banyak terjadi ‘pemborosan’ di BUMN kaya tersebut sampai kemudian beredar surat dari Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN bernomor S-781/MK.08/2017 tanggal 19 September 2017 yang menyinggung tentang kondisi makin memburuknya ‘kesehatan’ keuangan PT PLN,” pungkas Junisab.
Komentar