Pengamat Sebut UU Pemilu Tak Tegas Ke Politisasi Isu Sara

Jakarta, liputan.co.id – Dibanding dengan pemilu legislatif (Pilleg), pemilu presiden (Pilpres) berpotensi jadi ajang politisasi isu suku, agama, ras dan antar-golongan.

Pemicunya menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, karena Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu hanya memberi sanksi 1 tahun penjara bagi pelaku politisasi isu Sara.

“Pilpres dan Pilleg berlangsung serentak pada 17 April nanti. Dari kedua Pemilu itu, pasti Pilpresnya yang akan jadi pusat perhatian publik karena rawan dengan politisasi isu Sara,” kata Ray, dalam Diskusi 4 Pilar MPR RI bertema “Pemilu dan Kebhinekaan”, di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (7/9).

Mestinya ujar dia, potensi isu Sara dalam setiap Pilpres harus sedini mungkin diminimalisir oleh semua pihak. Sekecil apa pun isu Sara sempat menggelinding dalam Pilpres, pasti semua perhatian publik akan tersedot dan itu tidak akan membedakan kelompok pendukung atau kalangan golongan putih (Golput) sekalipun, pasti bakal terseret.

“Saya ingatkan, politisasi isu Sara lebih membahayakan NKRI ketimbang isu politik uang yang efeknya hanya lokal karena tidak mungkin praktik politik uang di satu TPS bisa berimbas ke TPS lainnya. Tapi kalau politisasi isu Sara cepat menyebar dan memecah-belah bangsa,” tegasnya.

Dia contohkan, ada tim sukses yang menjanjikan uang kepada sekelompok pemilih di sebuah lingkungan. Ketika janji uang tidak dipenuhi oleh tim sukses, tidak mungkin juga warga lingkungan yang dijanjikan berbondong-bondong mendatangi tim sukses yang menjanjikan karena malu. “Tapi kalau isu Sara yang dipolitisasi, efeknya pasti ke mana-mana dan sangat cepat meluas,” tegasnya.

Karena politik uang tidak akan membahayakan NKRI, Ray menegaskan tidak berarti dia bertoleransi terhadap praktik politik di setiap Pemilu karena akan mengganggu bahkan mengancam proses demokrasi di Indonesia.

Komentar