Hari Anak, Reni Marlinawati Soroti Gawai dan Putus Sekolah

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Reni Marlinawati mengatakan Peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2019 ini dibarengi dengan persoalan gawai yang lekat dengan kehidupan anak-anak. Jika penggunaan gawai tidak mendapat kontrol yang ketat, maka dampak negatif gawai bakal mengancam masa depan anak-anak Indonesia.

Menurut Reni, harus ada upaya sistemik untuk meminimalisir efek negatif gawai bagi anak serta menurunkan angka anak putus sekolah. “Ada dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan gawai. Mulai akan menjadikan anak asosial, kurang bergerak hingga menimbulkan efek negatif bagi kesehatan anak,” kata Reni lewat rilisnya, Rabu (24/7/2019).

Politikus PPP itu menegaskan tidak sedikit anak-anak melakukan aksi kekerasan karena terinspirasi dari konten yang tersedia di gawai baik melalui game maupun video. Ia juga mencatat konten porno juga memungkinkan muncul dari gawai yang dipakai oleh anak-anak. Bahkan ujarnya, gawai juga akan mengurangi daya hafal anak-anak. “Dalam jangka waktu pendek, bisa saja tidak akan dirasakan dampak negatifnya, tetapi dalam jangka waktu menengah dan panjang, gawai bakal merusak lahir dan batin bagi anak-anak,” tegas Reni.

Karena itu, Reni mengingatkan harus ada upaya sistemik agar tumbuh kembang anak tidak terganggu dampak negatif gawai bagi anak-anak. Menurutnya, hal tersebut membutuhkan kerja sama semua pihak agar anak-anak terhindari dari dampak negatif gawai. “Langkah sistemik ini membutuhkan peran banyak pihak mulai dari orang tua, sekolah hingga lingkungan tempat tinggal,” ujar Reni.

Kendati demikian, Reni tidak menampik sisi positif gawai bagi anak. Menurutnya, tidak sedikit konten yang terdapat di gawai juga positif bagi tumbuh kembang anak seperti soal pembelajaran dan hiburan yang edukatif bagi anak. “Meski harus kita akui, ada juga sisi positif gawai. Namun, penggunaan gawai harus dikelola oleh orang tua serta konten apa saja yang layak dilihat oleh anak-anak,” imbuh Reni.

Selain itu, Reni juga menyoroti angka putus sekolah yang masih saja terjadi di Indonesia. Ia merujuk data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 yang mengungkapkan anak putus sekolah di pedesan masih dominan sebesar 1,43 persen dibanding di perkotaan sebesar 0,92 persen.

Angka putus sekolah tersebut didominasi di sekolah tingkat menengah atas sebesar 4,74 persen SD dan sederajat sebesar 0,32 persen serta SMP sebesar 1,54 persen. “Saya kira Pemerintah Daerah harus memberi perhatian khusus atas angka putus sekolah ini dengan berkoordinasi dengan pemerintah desa di masing-masing daerahnya,” saran Reni.

Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat itu menyebut, dari data BPS, sumbangan angka anak putus sekolah didominasi oleh Provinsi Papua sebesar 4,74 persen. Ia berharap pemerintah dapat memberi perhatian khusus untuk daerah-daerah yang banyak menyumbang putus sekolah. “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus memberi perhatian terhadap daerah-daerah yang paling banyak menyumbang angka putus sekolah,” pungkas Reni.