Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Profesor Dailami Firdaus menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak sesuai dengan karakter dan jatidiri bangsa dan keluar dari asas dasar negara yaitu Pancasila sebagaimana termaktub dalam sila pertama.
Menurut Dailami, RUU PKS memiliki dasar mengubah cara pandang masyarakat untuk mengikuti pola feminisme yaitu “Tubuhku adalah Milikku” (My Body Is Mine), di mana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan dianggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual, yang tentunya berbahaya dan sangat bertentangan sekali dengan agama dan kultur budaya ditanah air.
“Karena dengan pemikiran ini maka tidak ada siapa pun (orang tua, nilai agama dan negara) yang bisa mengontrol dan mengatur perempuan ingin berpakaian seperti apa, berperilaku seksual seperti apa dan dengan siapa,” kata Dailami, lewat rilisnya, Senin (22/7/2019).
Lebih lanjut, Ketua Dewan Pembina Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) DKI Jakarta ini memaparkan beberapa hal yang memperlihatkan atau menggambarkan bahwa kehadiran RUU PKS bukan sebagai solusi, tapi justru akan membuka konflik baru perihal kesetaraan.
“Asas RUU P-KS tidak berasaskan Pancasila dan UUD 1954 serta asas religiusitas,” tegas Senator dari daerah Pemilihan Jakarta itu.
Selain itu lanjutnya, RUU P-KS dapat menghapus dan membatalkan beberapa pasal UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, juga hukum perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi Pemeluknya, karena konsep penanganan kekerasan seksual dalam Islam sangat berbeda dengan RUU P-KS ini.
“BAB VII Pasal 11 pada RUU P-KS ini, tidak mencantumkan “Zina” (hubungan seksual diluar Nikah walaupun atas dasar suka sama suka) sebagai Kekerasan Seksual yang dapat dihukum pidana,” tegas Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICWI) Orwil DKI Jakarta ini juga
Bahkan menurut Dailami, RUU P-KS tidak membedakan antara kekerasan seksual suami isteri dalam keluarga yang telah sah melalui perkawinan, dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh non suami istri.
Lebih lanjut di jelaskan, Pasal 14 Pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan.
“Definisi ini juga harus di tambahkan mengenai bagaimana mengatur peredaran atau penyebaran alat-alat kontrasepsi dan obat obat obatan serta alat alat peraga seksual agar tidak dijual umum atau mudah didapatkan,” ujarnya.
Lalu Pasal 16 RUU P-KS yang berbunyi: “Perbuatan menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan perbuatan seksual adalah pidana perkosaan”. Menurutnya, Pasal ini sangat absurd menilai kejahatan pidana perkosaan. Sebab hubungan seksual suami istri tidak selamanya dimulai dalam posisi saling menyetujui terlebih dahulu, sebab hubungan seksual keduanya telah sah, saat mereka melaksanakan akad nikah di KUA dan lembaga hukum lainnya.
Dailami juga mengkritisi Pasal 17 yang berbunyi: “atau tekanan psikis lainnya, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan, diancam pidana pemaksaan perkawinan”. Pasal ini telah mengingkari dan mendelegitimasi kedudukan dan hak kedua orang tua/wali dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan, seorang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari walinya”. Bahkan pasal ini telah mengancam sistem wali dalam ajaran Islam, bahwa wanita bila menikah harus izin dan dinikahkan oleh walinya. Sebab “tekanan psikis” yang dimaksud dalam pasal ini tidak jelas dan rinci, bisa jadi nasihat dan bujukan orang tua agar putrinya menikah dianggap pidana.
Ditegaskannya, RUU P-KS, mengarahkan umat Islam di Indonesia hidup dengan sistem perkawinan Liberal barat (westernisme dan liberalisme), bahkan mendelegitimasi adat istiadat perkawinan dan kekeluargaan yang ada di Nusantara.
Untuk itu Dailami berharap agar umat muslim menolak pengesahan RUU ini akan akan menjadi beban pemerintah dengan adanya pembentukan lembaga baru, di mana seharusnya pemerintah lebih menguatkan lembaga yang ada dan sesuai dengan kondisi saat ini.