Program Santri Tani Milenial Untuk Cetak Eksportir Milenial

Generasi Muda biasa sekarang diidentikkan dengan generasi milenial sebagai harapan dan tulang punggung dalam menunjang pembangunan di Indonesia khususnya pertanian. Potensi untuk regenerasi petani dari Pondok Pesantren sangat dimungkinkan, terlebih saat ini banyak orang tua mempercayakan pendidikan di Pondok Pesantren Modern atau Boardingschool.

Terkait peluang di era ekonomi digital saat ini, Kementerian Pertanian melihat adanya potensi besar yang bisa dikembangkan di lingkungan pondok pesantren. Seluruh sumber daya termasuk para santri ini harus dilatih semaksimal mungkin agar sasaran-sasaran tersebut bisa tercapai.

“Pesantren menjadi potensi untuk menciptakan regenerasi petani, melaui program Santri Tani Milenial. Kita dorong generasi santri untuk terjun ke pertanian. Sekarang pertanian sudah canggih, alat-alat pertanian sudah banyak tersebar seperti alat mengolah, menanam dan panen, ” ungkap Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian Prof. Dr. Dedi Nursyamsi, MSc. saat di konfirmasi redaksi, Jum’at (23/8).

Dedi menyampaikan bahwa santri-santri ini selain medapat pendidikan utama di pesantren, nantinya santri-santri kita akan berikan pembekalan ilmu dan pendampingan yang komprehensif, termasuk kegiatan budidaya, teknologi pertanian, pasca panen dan pemasaran. Kita akan dorong mereka bertani dengan teknologi digital, karena era milenial dikenal sebagai era yang serba digital, serba cepat, dan mudah diakses.

“Kita kan sudah berjalan dari awal tahun 2019 program ini, yaitu dengan Kelompok Tani Santri Milenial (KSTM). Para santri ini nantinya setelah keluar dari pondok memiliki lifeskil dan sukur-sukur bisa menjadi job seeker dan job creator hingga jadi eksportir milenial, ” tutur Dedi.

Dedi meyakini bahwa eksportir milenial bisa saja munculnya dari jebolan Pondok Pesantren, hal ini dikarenakan penanaman kepribadian, agama, dan kemandirian dibina sejak dini sehingga akan mengantarkan jiwa siap untuk mengembangkan potensi. Lingkungan dan ekosistem di pesantren sangat mendukung. Di beberapa pondok yang memiliki lahan yang luas, sudah banyak santrinya dibekali untuk berternak, jadi lebih mudah untuk membimbing dan membinanya.

“Nanti santri-santri itu akan kita kelompokkan, kemudian kita arahkan minatnya. Apa ke ternak, budidaya tanaman, pengolahan hasil atau pemasaran produk pertanian. Kita memiliki Balai-balai pelatihan dan pakar-pakar pertanian pun kita cukup lengkap ditambah teknologi yang siap diterapkan dimasyarakat. Kita akan dampingi para santri tersebut melalui kelompok, kita arahkan ke beberapa komoditas semisal berternak ayam, domba/kambing dan berkebun, ” tutur Dedi.

Gubernur Khofifah Indar Parawansa meresmikan One Pesantren One Product (OPOP) Training Center di Universitas NU Surabaya (Unusa) bersama Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis) Prof Mohammad Nuh DEA dan perwakilan International Council for Small Business (ICSB) di Kampus Unusa Surabaya Jalan Jemursari Surabaya, Kamis (22/8).

Khofifah juga melihat potensi pesantren di Jatim yang cukup besar. Tinggal bagaimana membangun jejaringnya agar produk dari pesantren bisa dikenal publik. Selain itu Khofifah menyampaikan, produk dari pesantren bisa dibenahi kualitasnya dan ditingkatkan kuantitasnya.

“Karena di Jawa Timur jumlah pesantrennya banyak ada lebih dari 6 ribu pesantren. Cuma banyak di antara mereka yang tidak mendapat pendampingan secara komprehensif. Artinya kualitasnya, jejaring marketnya kalau bahasa saya mungkin ada yang memang belum punya GPS. Jadi kalau ada produk-produk yang memiliki kemiripan harus disiapkan RnD jadi tidak bisa hari ini kita berbicara daya saing tanpa disupport oleh research and development,” ungkap Khofifah.

“RnD ini mahal tetapi kalau bersambung dengan perguruan tinggi yang memang punya lembaga riset dan lembaga pengembangan, maka Training Center OPOP ini memang harus di perguruan tinggi, maka kita bisa memberikan pelatihan, pendampingan sampai kemudian membangunkan jejaring,” lanjut Khofifah.

Khofifah berharap hal ini bisa memandirikan pesantren hingga santri. Di mana, jika lulus nanti para santri bisa hidup mandiri. Nantinya setelah lulus dari pesantren mereka lebih siap untuk mandiri lewat sektor apapun. Memandirikan warga itu menjadi penting apalagi yang mandiri kemudian bisa membuka lapangan kerja.

Mantan Menteri Pendidikan dan Budaya (Mendikbud) Prof Mohammad Nuh DEA yang saat menjabat Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis)  menyampaikan, untuk menjadi seorang pengusaha, ada yang memang telah memiliki keahlian. Namun ada juga yang perlu disiapkan melalui sekolah dan pelatihan.

“Kenapa kita harus membangun yang namanya OPOP Training Center, karena kita punya keyakinan bahwa jika dilatih, didampingi terus diberi kesempatan itu insya Allah bisa,” tutup Nuh.