Ma’ruf Cahyono: Berita Dugaan Transaksi OSO Ke Kasino Cederai Institusi dan Hak Hukum Pejabat Negara

Jakarta – Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah tahun 2018 Ma’ruf Cahyono menyatakan berbagai diksi yang dibangun oleh sejumlah media online tentang dugaan transaksi dan rekening mencurigakan dengan menyebut Ketua DPD RI saat itu Oesman Sapta Odang (OSO) yang dikaitkan dengan kasino adalah diksi-diksi yang memiliki korelasi yang tidak baik.

“Pertama, merugikan institusi dan hak hukum seorang pejabat negara. Kedua terkait langsung dengan harkat, martabat dan marwah dari DPD RI. Saya ketika itu Pelaksana Tugas Sekjen DPD RI, tentu harus meluruskannya,” kata Ma’ruf, kepada wartawan, di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Kamis (30/1/2020), menyikapi pemberitaan sejumlah media online tentang dugaan kepemilikan rekening dan transaksi mencurigakan yang dimiliki oleh pejabat DPD RI.

Ma’ruf yang didampingi Sekjen DPD RI Reydonnyzar Moenek menjelaskan, dalam berita tersebut diungkap seorang pejabat negara di DPD RI dan secara eksplisit menulis nama Oesman Sapta Odang dalam kapasitas pertama sebagai pejabat DPD RI ujarnya, tentu selama ini Oesman Sapta telah menjalankan tugas-tugas sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.

“Undang-undangnya tidak hanya menyangkut tentang wewenang dan tugas, tapi juga undang-undang yang berkaitan dengan kedudukkannya sebagai pejabat negara yang telah menjalankan tugas-tugas itu dengan sukses dan lancar,” ungkap Ma’ruf.

Dalam kaitanya dengan kelembagaan DPD RI lanjutnya, tentu dengan diksi-diksi menyebut Ketua DPD RI ada transaksi mencurigakan, ada rekening yang mencurigakan, agar Kasino dan lain-lain, tentu adalah diksi-diksi yang memiliki korelasi yang tidak baik. “Pertama merugikan konstitusi dan hak hukum seorang pejabat negara. Kedua adalah harkat martabat serta marwah DPD RI. Itu catatan saya. Oleh karena itulah tentu saya harus meluruskannya,” kata Ma’ruf.

Kedua lanjut Ma’ruf yang juga Sekjen MPR RI itu, pengelolaan keuangan negara, kalau ada kaitannya dengan masa jabatan saat itu dan Dewan sebagai organ tata negara, tanggung jawabnya ada pada Sekretaris Jenderal sebagai pengguna anggaran. “Sebagai pengelola keuangan negara, Sekretariat Jenderal DPD RI telah mendapatkan predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), berturut-turut selama 13 kali. Untuk institusi pemerintah, capaian WTP itu tidak mudah,” tegasnya.

Capaian WTP tersebut katanya, butuh proses yang panjang karena harus memenuhi sejumlah indikator yang ditetapkan oleh BPK, misalnya terkait dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kesesuaian terhadap akuntansi pemerintah, kecukupan dalam pengungkapan, tidak hanya input uang, juga output kinerjanya ada semua, sampai pada bagaimana keuangan negara itu bisa dijalankan secara efektif, disamping secara materil tentu tidak ada persoalan hukum menyangkut keuangan negara.

“Oleh karena itulah saya tegaskan, kaitannya dengan pemberitaan tersebut, tentu tidak ada korelasinya. Bahkan, saya tegaskan tidak ada seperti itu, bahwa Bapak Doktor Oesman Sapta sebagai Pimpinan DPD RI saat itu telah memberikan arah kebijakan pengelolaan keuangan negara secara tepat, sehingga mendapatkan opini WTP,” kata Ma’ruf.

Ditegaskannya, pemberitaan-pemberitaan seperti ini, yang pada gilirannya tentu tidak hanya menyangkut personal, tapi juga menyangkut pejabat negara dan menyangkut lembaga DPD RI. “Saya tentu harus klarifikasi dan sebaiknya itu dihentikan, supaya jangan sampai masyarakat menjadi distrust terhadap posisi lembaga negara yang telah berkinerja secara baik. Kalau melihat diksi-diksi yang dilontarkan di media, bayangkan, ada Ketua DPD, ada Dewan Perwakilan Daerah, ada transaksi mencurigakan, ada rekening yang mencurigakan, ada istilah kasino, tentu ini akan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Dewan yang setidaknya telah berkiprah, berperan dalam berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” ujar Ma’ruf.

Dia khawatir, kalau ini menjadi konsumsi publik dan tidak dijelaskan dalam kaitanya dengan kedewanan DPD, akan menjurus fitnah bagi personal pejabat negara yang bisa mengakibatkan pembunuhan karakter seseorang. “Saya berpikir lebih baik, tentu harus ada keseimbangan dalam melakukan pemberitaan-pemberitaan,” pungkasnya.