Politikus Golkar Ingatkan APBN 2021 Instrumen Penting Pulihkan Dampak Covid-19

Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengatakan, Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) telah menyampaikan pengantar dan keterangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2021 dalam Rapat Paripurna DPR RI, Mei 2020 lalu.

Dokumen tersebut menurut Puteri, merupakan gambaran awal sekaligus arah skenario kebijakan ekonomi dan fiskal yang menjadi bahan pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Nota Keuangan beserta RAPBN 2021.

Puteri berharap agar dalam penyusunannya, APBN 2021 perlu dipahami sebagai instrumen penting untuk menjawab tantangan dan dinamika pemulihan dampak pandemi Covid-19 yang dapat memengaruhi kesinambungan fiskal beberapa tahun ke depan.

“Peningkatan defisit anggaran dam pelebaran persentase utang negara terhadap beban anggaran akibat pandemi akan memberi dampak terhadap keuangan negara hingga beberapa tahun ke depan. Karenanya, perumusan APBN 2021 yang berdasar pada dinamika anggaran negara tahun 2020 sangat krusial bagi kesinambungan kebijakan fiskal Indonesia,” kata Puteri, dalam rilisnya, Senin (8/6/2020).

Diketahui, Pemerintah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan RAPBN 2021, antara lain pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen, inflasi 2,0-4,0 persen, tingkat suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun 6,67-9,56 persen, nilai tukar rupiah Rp14.900-Rp15.300 per dollar Amerika Serikat (AS), harga minyak mentah Indonesia USD40-50 per barel, lifting minyak bumi 677-737 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1.085-1.173 ribu barel setara minyak per hari.

Untuk itu, politikus Partai Golkar ini meminta agar Pemerintah melakukan penghitungan asumsi makro APBN 2021 secara tepat untuk memperkecil deviasi antara asumsi makro dengan realisasinya, mengingat kondisi perekonomian di masa pandemi masih diperkirakan bergerak dinamis.

“Di tengah kondisi seperti ini, indikator asumsi makro diperkirakan bergerak dinamis. Maka, perumusannya untuk APBN 2021 perlu dilakukan dengan cermat, detail, dan antisipatif sesuai perkembangan serta evaluasi kondisi ekonomi global dan domestik terkini. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkecil deviasi target dan realisasinya yang dapat memengaruhi besaran outlook dan realisasi anggaran negara,” ujarnya.

Dalam konferensi pers pada Rabu (3/6/2020) lalu, Pemerintah menyatakan akan mengubah perkiraan defisit APBN 2020 dari 5,07 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan merevisi Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Pelebaran defisit ini diakibatkan penurunan perkiraan penerimaan negara dari Rp1.760,9 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun. Serta, perkiraan kenaikan belanja negara sebesar Rp124 triliun menjadi Rp2.738,4 triliun.

“Selain perkembangan beberapa indikator makro, tentunya risiko atas pelaksanaan APBN 2020 juga perlu menjadi perhatian dalam penyusunan RAPBN 2021, untuk menciptakan kesinambungan fiskal agar dapat menjaga kredibilitas dan akuntabilitas anggaran negara,” lanjut Puteri.

Tidak hanya sampai di situ, berbagai upaya perlu dilakukan guna mendukung upaya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi. “Ke depannya kebijakan fiskal pun harus fokus pada percepatan pemulihan kesehatan dan sektor ekonomi strategis melalui program-program yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat,” pungkas legislator dapil Jawa Barat VII itu.

Komentar