Lindungi Kesehatan Pekerja, Kemnaker Susun Pedoman Penilaian Risiko Ergonomi

Bandung – Kementerian Ketenagakerjaan melalui Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tengah menyusun pedoman penilaian risiko ergonomi untuk melindungi kesehatan pekerja. Nantinya, pedoman tersebut diharapkan dapat dipakai setiap sektor, sekaligus melengkapi peraturan yang sudah ada. Di antaranya Perpres Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, Permenaker Nomor 5 tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja, dan peraturan lainnya terkait perlindungan pekerja akan bahaya faktor ergonomi.

“Kami berharap dari pertemuan ini kita dapat menghasilkan pedoman yang dapat menuntun kita memberi perlindungan kesehatan bagi tenaga kerja kita yang akan membawa kejayaan bangsa Indonesia,” kata Direktur Bina K3, Muhammad Idham, pada pembukaan Worshop Implementasi Ergonomi Industri Bagi Stakeholder K3, di Bandung, hari Selasa (12/8/2020).

Idham menegaskan bahwa Kemnaker memiliki tugas besar dalam pembangunan kualitas kesehatan sumber daya manusia para pekerja. “Para pekerja harus dilindungi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan para pekerja,” katanya.

Menurutnya, selain faktor fisika, kimia, biologi, dan psikososial, salah satu faktor lingkungan tempat kerja yang sangat signifikan terhadap kesehatan pekerja adalah faktor ergonomi.

Pasalnya, dari pengaruh buruk faktor ergonomi ini berakibat postur tubuh kerja yang tidak alamiah, peregangan otot yang berlebihan, pengulangan gerak berkali-kali, dan postur kerja statis. Hal tersebut berpotensi menyebabkan gangguan pada sendi, ligamen, dan tendon pekerja yang diistilahkan dengan gangguan muskuloskeletal.

“Kondisi ini akan menurunkan produktivitas pekerja dan perusahaan serta biaya kompensasi yang tinggi,” ucapnya.

Terkait gangguan muskuloskeletal, ia mengemukakan bagaimana negara mapan sekelas Amerika Serikat pun setiap tahunnya tidak kurang 20 persen Penyakit Akibat Kerja adalah gangguan muskuloskeletal, dan 25 persen biaya kompensasi dikeluarkan untuk keluhan atau sakit otot pinggang.

Sementara berdasarkan data NIOSH tahun 1996, sambungnya, biaya kompensasi untuk keluhan muskuloskeletal mencapai 13 milyar Dollar U$ setiap tahunnya dan merupakan biaya kompensasi yang terbesar dari keluhan atau sakit akibat kerja lainnya.

“Begitu besar akibat gangguan muskuloskeletal ini terhadap pekerja, perusahaan, bahkan bagi ketahanan bangsa, maka persoalan ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk mengatasinya,” jelasnya.

Worshop Implementasi Ergonomi Industri Bagi Stakeholder K3 ini diselengarakan Ditjen Binwasnaker dan K3 selama tiga hari, yakni 12 hingga 14 Agustus 2020 di Bandung, Jawa Barat.

Komentar