Merugikan, Fikri Minta Evaluasi Kerja Sama Pariwisata dengan China

Semarang – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengritisi langkah pemerintah RI yang terus meningkatkan kerja sama bilateral dengan China di bidang pariwisata. “Evaluasi bidang pariwisata RI beberapa tahun terakhir menunjukkan fakta, bahwa turis asal China kurang memberi dampak bagi ekonomi lokal di daerah tujuan wisata,” ujar Fikri, di sela kegiatan reses di Semarang, Senin (21/20).

Fikri mengungkapkan hal tersebut berdasarkan data dari berbagai pihak, mulai dari asosiasi wisata, masyarakat pemerhati, hingga pemerintah daerah di Bali contohnya. “Faktanya, malah muncul praktik-praktik illegal sektor wisata, khususnya terkait dengan turis asal China yang berkunjung ke Bali,” ungkapnya.

Praktik negatif tersebut bermula dengan dibukanya keran pariwisata RI sejak 2015 demi mengejar target kunjungan wisatawan mancanegara. Jutaan turis China yang berkunjung ke RI, khususnya ke Bali tiap tahunnya, ternyata tidak memberi dampak signifikan terhadap devisa pariwisata RI.

Pasalnya, malah muncul banyak agen perjalanan asing tak berizin, khususnya yang dimiliki oleh warga negara China membuka praktik dengan menjual paket wisata sangat murah ke Bali. “Ada yang menjual hanya US$ 60 per orang sudah all in,” imbuh politisi PKS ini.

Selain itu, para turis China yang dibawa oleh pemandu wisata mereka sendiri juga sengaja diarahkan untuk berbelanja hanya ke gerai-gerai yang sudah disediakan khusus untuk turis China, juga disinyalir tidak berizin. Sistem pembayaran pun ternyata dilakukan secara cashless (non-tunai) menggunakan aplikasi pembayaran yang berasal dari China, seperti Wechatpay. “Nyaris tidak ada aliran dana dari turis China ke devisa kita kalau begitu,” ujar Fikri.

“Ini praktik yang kita bisa menyebutnya negatif tourism, apa dampak kedatangan turis asal China selain menambah sampah lingkungan di Bali saja,” tanya Fikri.

Karenanya, bila pemerintah belum melakukan langkah perbaikan atas fenomena kedatangan wisman asal China yang sangat merugikan destinasi wisata tujuan, sebaiknya langkah bilateral urung dilakukan.

“Harusnya diurungkan, selama kita belum memaksimalkan lonjakan kunjungan wisman China tersebut agar berdampak secara ekonomi lokal, dan berprinsip mutualisme atau saling menguntungkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia dan Cina terus berkolaborasi meningkatkan Kerjasama bilateral kedua negara termasuk sektor pariwisata. “Pihak Cina sepakat untuk terus melakukan kolaborasi internasional guna penanganan dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19, mempromosikan kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan bilateral kedua negara, terutama dalam mendukung pariwisata,” ujar Luhut dalam keterangan tertulis, akhir pekan lalu.

Lirik Negara Potensial Lain
Fikri menilai, potensi wisatawan dari negara lain, khususnya negara tetangga seperti Malaysia dan Australia malah belum digarap secara maksimal. Data 2019 sebelum pandemi menunjukkan, Malaysia masih merupakan negara penyumbang wisman terbesar sebanyak 2,98 juta kunjungan, disusul China dengan 2,072 juta kunjungan. Selanjutnya ada Australia dengan 1,38 juta kunjungan. Secara total negara-negara Oseania (termasuk Australia di dalamnya) menyumbang 1,6 juta kunjungan ke Indonesia.

Selain itu, negara-negara mayoritas muslim di Timur Tengah merupakan pasar potensial yang tak kalah menarik. “Karena Indonesia adalah negeri berpenduduk muslim terbesar, yang notabene menjadi destinasi yang nyaman bagi turis-turis muslim dengan konsep wisata halalnya,” urai Fikri.

Dalam periode 2019 lalu, kunjungan wisman asal Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Yaman, Uni Emirat, dll baru mencapai 263,9 ribu kunjungan.

Fikri mengusulkan agar pemerintah melirik negara-negara lain yang lebih potensial dan mampu memberi nilai tambah bagi devisa. “Saat ini kita harus berorientasi pada Quality Tourism, kunjungan wisman yang berkualitas dan menghidupkan ekonomi lokal, serta meningkatkan devisa negara,” tegasnya.

Dirinya juga menekankan pentingnya menciptakan citra pariwisata Indonesia yang memberi rasa aman dan nyaman di tengah masih merebaknya pandemi Covid 19. “Selain konsep 3A yang sudah dikenal selama ini, yakni atraksi, amenitas, dan aksesbilitas pada destinasi, kita juga harus menunjukkan pariwisata Indonesia sudah tersertifikasi terhadap kebersihan, higienitas, dan keamanan serta ramah lingkungan atau CHSE,” urai dia.

CHSE adalah singkatan dari Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah lingkungan). Merupakan proses sertifikasi kepada Usaha Pariwisata, Destinasi Pariwisata, dan Produk Pariwisata lainnya untuk memberikan jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan.

Komentar