PPUU DPD Bahas RUU Pelayanan Publik, Pakar: Seperti di DKI, Ada Komplain Pelayanan, Tunjangan Dipotong

Jakarta – Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pakar kebijakan publik secara virtual membahas RUU Perubahan atas UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/1/2021).

Rapat ini menurut Wakil Ketua PPUU DPD RI Angelius Wake Kako guna mencari masukan sebagai upaya untuk mewujudkan sistem pelayanan publik yang benar-benar berkualitas, cepat, dan mengutamakan kepuasan masyarakat dalam mendukung percepatan pembangunan.

Angelius Wake Kako menyebutkan DPD RI telah sepakat dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk melakukan perubahan/ penggantian terhadap UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. “Menyepakati untuk melakukan kolaborasi secara subtansi dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU Tentang Perubahan/ Penggantian Atas UU Pelayanan Publik,” ungkapnya.

Anggota DPD dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Muhammad Afnan mengatakan penyebab tidak efektifnya pelayanan publik di Indonesia salah satunya karena buruknya merit sistem.

“Ada ikatan emosional tertentu, misal satu daerah, satu almamater, sehingga tidak profesional karena rekrutmen bukan berdasarkan profesionalitas tetapi karena faktor kedekatan emosional,” ungkapnya.

Selain itu, Afnan berpandangan perlu digitalisasi pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan. “Kalau di Jawa prosesnya bisa cepat karena ada internet stabil, tapi bagaimana kalau untuk daerah luar Jawa?,” tanya dia.

Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Eko Prasojo menyarankan dalam penyusunan RUU Pelayanan Publik ditambahkan bab inovasi pelayanan publik, etika penyelenggara pelayanan publik, era digital dan konvergensi teknologi diperlukan tata kelola baru pelayanan, perubahan budaya dan kapabilitas harus menjadi fokus selanjutnya, public-private partnership dan pemberdayaan masyarakat.

“Masalah dasar pelayanan publik di Indonesia adalah karena masih ada budaya bureaucratic paternalism yang masih berbelit sistem birokrasinya, tradisi upeti, dan rekrutmen kompetensi yang belum bisa menyaring yang terbaik di bidangnya. Harapan ke depan, bisa seperti customer service yang semuanya bisa di akses lewat smartphone seperti kita belanja online,” ungkapnya.

Deputi Bidang Kebijakan Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Muhammad Taufiq menyampaikan beberapa isu strategis RUU ini adalah tentang irisan ruang lingkup pelayanan yang luas, collaborative governance dan permasalahan akuntabilitas pelayanan, dan model penyediaan pelayanan berbasis crowd.

“Kolaborasi tidak harus dari birokrasi dana APBN, dan penilaian dapat berpengaruh kepada tunjangan, seperti di DKI Jakarta, kalau ada komplain pelayanan masyarakat, maka tunjangan dipotong,” ujarnya.

Khusus untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau internet, Taufiq menyarankan kepada DPD RI dapat membantu dengan memanfaatkan jaringan komunikasi dengan konstituen.

“Tidak harus menggunakan internet, tetapi paradigmanya adalah bagaimana pelayanan publik itu mendekatkan dengan masyarakat. Bisa dengan memanfaatkan jaringan komunikasi dengan konstituen di daerah untuk mendapatkan informasinya,” imbuhnya.

Komentar