Menjadi Pattimura Muda yang Berbudaya

TIDAK dapat dipungkiri bahwa budaya memainkan peranan penting dalam suatu bangsa. Setiap manusia memiliki cara hidupnya masing-masing dalam menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan.

Kebiasaan inilah yang tertuang pada generasi-generasi berikutnya, sehingga dipercaya dan melekat dalam perilakunya sehari-hari. Datangnya budaya baru merupakan tantangan dan dapat diibaratkan seperti sebuah ujian, yang akhirnya dapat tertolak atau diterima dengan baik oleh manusia.

Selama hidup manusia hanyalah belajar dan belajar. Entah belajar pasif atau aktif. Manusia hanyalah bisa menerima apa adanya pada mulanya, seperti seorang bayi contohnya.

Ketika manusia sudah nyaman dalam budaya tersebut dan menemukan hal baru, yang tidak ada dalam budayanya, di sanalah hati nurani berperan penting, apakah ia mau menerima budaya baru tersebut atau tidak.

Sebab sudah naluri manusia, jika ia ingin mencoba sesuatu yang baru tanpa meninggalkan lingkungan budayanya. Seseorang berhak untuk menerima dan menolak hal yang baru baginya.

Sebab keduanya memiliki konsekuensi. Seorang anak sekolah yang harus melakukan pekerjaan rumah, memiliki konsekuensi jika ia tidak mengerjakan tugasnya. Ia bisa berbohong, kalau ia sudah mengerjakan tugasnya, dan keesokan harinya akan ditegur oleh guru dan ditertawai teman-teman sekelasnya.

Atau ia mengerjakan tugas dan dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Tetapi budaya bukanlah tugas bagi manusia, melainkan pilihan. Pada awalnya memang manusia percaya bahwa budaya yang dia terima adalah budaya satu-satunya yang benar. Tetapi saat seseorang menyadari bahwa pilihan itu adalah nyata, maka di sanalah ia harus menentukan.

Hal terkecil dan pertama kali yang diterima adalah budaya dalam keluarga. Setiap anak dididik dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga budaya itu melekat dalam dirinya.

Contoh sederhana adalah saat anak-anak saling bertemu, disanalah pertemuan budaya-budaya yang berbeda. Seringkali terjadi bahwa anak-anak saling membela dirinya berdasarkan budaya di dalam keluarganya.

Hal ini sangatlah lumrah. Saat anak-anak “naik kelas” budaya, dan melihat bahwa kebiasaan satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda, maka ia memilih, akankah memilih menerima atau menolak budaya lain.

Begitu juga dalam hidup berbudaya masyarakat di masa kini, yang seringkali tercampur aduk dan terlalu cepat arusnya mengarungi budaya setiap bangsa.

Semuanya adalah pilihan dan setiap bangsa tidaklah harus “naik kelas”. Sebab di sinilah ujian sesungguhnya, apakah suatu bangsa dapat mempertahankan budayanya ketika budaya bangsa lain masuk dengan derasnya.

Bangsa yang berbudaya berasal dari manusia-manusia yang berbudaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang berhasil menentukan apakah ia dapat menerima budaya baru atau tidak.

Karena ia tidaklah gagal dalam “ujian”, ketika menolak suatu budaya baru, tetapi oleh karena itulah ia berhasil menerima budaya baru di sekitarnya dan tidak membenturkannya. Inilah makna dari manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu dia bukanlah saja manusia yang pintar secara logika tetapi juga secara batiniah.

Seringkali kita melihat jelas dengan mata kepala sendiri, baik teman maupun keluarga kita sendiri yang umumnya sudah tinggal lama di kota, enggan untuk berbelanja di pasar tradisional dengan berbagai alasan.

Berbelanja di pasar tradisional merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Sejak datangnya budaya barat, yang memperkenalkan pasar modern, maka semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk berbelanja di pasar modern. bila hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka pengaruh budaya barat ini dapat melekat pada sekolompok masyarakat dan menimbulkan budaya baru di suatu bangsa.

Tetapi realitanya, hingga saat ini juga masih banyak masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional, meskipun pasar modern memiliki fasilitas yang lebih nyaman. Dari contoh ini kita mengetahui, bahwa sedikitnya ada dua budaya untuk menentukan pilihan.

Dalam hal ini tujuannya adalah masyarakat dapat pergi ke sebuah tempat, dimana mereka dapat berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masing-masing pasar ini tetap berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Sebab masing-masing budaya memiliki daya tariknya masing-masing.

Menjadi manusia yang berbudaya bukanlah manusia yang meninggalkan budaya aslinya dan mengadopsi budaya baru sepenuhnya. Melainkan dia mampu mengimbangi di dalam dirinya pengaruh budaya-budaya yang ada di sekitarnya.

Hal yang terpenting di dalam hidup ini adalah mencapai tujuan, yang ditentukan masing-masing manusia. Budaya hadir dan melekat pada kehidupan manusia sebagai cara untuk mencapai tujuan, baik itu cara berpikir, cara berperilaku, cara berkomunikasi dan lain-lain.

Baik masyarakat berbelanja di pasar tradisional, pasar modern atau bahkan daring (online) tidaklah salah. Tetapi pilihan, seperti yang sudah diterangkan, memiliki konsekuensinya masing-masing. Manusia yang berbudaya harus dapat memilih dan menerima akibatnya. Tempat belanja daring kemungkinan besar memiliki harga yang lebih murah dibandingkan yang lainnya.

Tetapi situasi pasar yang ramai, komunikasi, perkenalan, dan kepercayaan yang spontan antara pembeli dan penjual, tidaklah dapat dibeli. Selain dari pada itu pula dalam mengimbangi budaya-budaya di dunia ini kita juga turut membantu meringankan beban masyarakat lain yang sulit menerima budaya baru. Umumnya pedagang-pedagang di
pasar tradisional adalah masyarakat yang sudah berkeluarga dan memilih untuk menafkahi keluarganya melalui perdagangan di pasar.

Menjadi manusia yang berbudaya bukanlah menjadi manusia yang egois dan memaksakan kehendak untuk berpikir dengan cara yang sama. Melainkan mengerti budaya lain dan kekurangannya, sehingga dia menjadi kaya akan wawasan dan memiliki budaya yang dicari bangsa-bangsa lain.

Saat ini biarlah kita menerawang budaya yang sudah kita miliki, dan buanglah hal yang tidak membuat kita mencapai tujuan dengan baik.

Sebaliknya bila ada hal yang baru dan kita pandang baik sebagai pilihan, sehingga konsekuensinya pun baik, dapat kita pertimbangkan untuk menjadi budaya kita sendiri.

Penulis : Frangky Darwin Oratmangun (Duta Perdamaian Dunia)

Komentar