Menantu Jokowi Jadi Lawan Potensial Edy Di Pilgub Sumut 2024

JAKARTA –  Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari ikut mengomentari perseteruan antara Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dengan Walikota Medan Bobby Nasution. Setidaknya, Qodari melihat 3 hal yang memiliki potensi konflik antara kedua kepala daerah itu akan berlangsung panjang dan besar.

Pertama, perbedaan basis konstituen. Edy datang dari kelompok konstituen yang berbeda dengan Bobby. Hal itu tercermin dari arahnya lebih kepada konstituen yang sama dengan Ustadz Abdul Somad (UAS).

“Edy dulu kampanye Pilgub dengan dukungan Ustadz Abdul Somad, seperti halnya UAS dukung Akhyar Nasution dalam Pilwako Kota Medan, di Desember 2020 yang lalu. Bedanya, Edy berhasil  mengalahkan Djarot Saiful Hidayat. Sedangkan Akhyar dikalahkan Bobby Nasution. Jadi konstituennya itu memang kira-kira beda lah,” kata Qodari, Minggu (09/05/2021).

Kedua, perbedaan latar belakang. Adanya perbedaan latar belakang antara Edy dan Bobby sehingga mempengaruhi konsep, cara atau gaya kepemimpinan dan pendekatan berbeda dalam menjalankan pemerintahan. Edy sebagaimana diketahui memiliki latar belakang militer, mantan Pangkostrad, sementara Bobby dari kalangan sipil.

Lanjut Qodari, konflik Edy dengan Bobby mengingatkan dirinya dengan konflik pada pertengahan tahun 2011 antara Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyu dengan Walikota Solo Joko Widodo. Menurutnya, kala itu Bibit menyebut Jokowi ‘bodoh’ karena menolak rencana pembangunan mal di atas lahan bangunan kuno bekas Pabrik Es Saripetojo yang berlokasi di Purwosari, Laweyan Solo.

“Terus terang saya lihat Pak Edy ini perseteruan dengan Mas Bobby itu teringat dengan Pak Bibit Waluyo. Dulu Gubernur Jawa Tengah yang pernah berseteru dan menyebut Pak Jokowi bodoh ketika itu, Pak Jokowi adalah Walikota Solo, kebetulan memang latar belakang Pak Edy ini mirip banget dengan Pak Bibit, sama-sama militer, sama-sama pernah menjadi Panglima Kostrad. Bibit berseteru dengan Jokowi. Mirip Edy vs Bobby sekarang ini,” beber Qodari.

Ketiga, ada nuansa kompetisi terselubung. Qodari memprediksi perseteruan akan panjang karena selain beda konstituen, Edy bisa saja melihat Bobby sebagai lawan potensial untuk masa jabatan kedua di Pilgub Sumut 2024.

“Jadi memang dalam konteks ini keputusan-keputusan kebijakan publik itu menjadi lebih rumit karena bisa jadi bersinggungan dengan analisa atau kalkulasi politik lah katakanlah begitu, ke depan, perseteruan akan panjang karena selain beda konstituen, Edy bisa saja melihat Bobby sebagai lawan potensial untuk masa jabatan kedua di Pilgub Sumut 2024,” terangnya.

Selain itu, menurut Qodari fenomena perselisihan antara kepala daerah bukan hal yang baru. Contoh wilayah lain yang bersitegang  yaitu Provinsi Lampung, yakni Gubernur Ridho Ficardo berselisih dengan Walikota Bandar Lampung Herman Hasanusi.

Qodari berharap, nuansa kompetisi pilkada jangan sampai mengganggu kebijakan publik. Untuk itu pihak Edy maupun Bobby harus menurunkan ego masing-masing dan berpikir untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.

“Justru kepentingan masyarakat itu hemat saya harus menjadi titik temu antara keduanya,’’ pungkas Qodari.

Diketahui, hubungan Edy dan Bobby merenggang diawali dari persoalan kawasan Kesawan City Walk yang terletak di pusat Kota Medan. Ada sejumlah bangunan bersejarah, seperti Rumah Tjong A Fie hingga Gedung London Sumatera, yang ada di sekitar Kesawan City Walk, Jalan Ahmad Yani, Medan.

Keberadaan kawasan wisata kuliner di Kesawan ini menjadi salah satu program andalan Wali Kota Medan Bobby Nasution dan selalu ramai sejak mulai diluncurkan. Keramaian, batasan jam tutup serta pemberlakuan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat pandemi Corona menjadi pemicu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi geram.

Setelah Kesawan City Walk, perseteruan kembali mencuat. Hal itu bermula saat Bobby memprotes Edy karena menganggap Pemerintah Sumatera Utara tidak melakukan koordinasi dengan pihak Kota Medan soal lokasi karantina WNI yang baru tiba dari luar negeri di Medan.

Bobby menyebut lokasi karantina WNI itu tersebar di lima hotel dan beberapa kantor milik Pemprov Sumut yang ada di Medan. Dia menilai harusnya Pemprov Sumut memberi tahu Pemko Medan soal lokasi karantina itu. (***)

Komentar