PAN Akui Politik Identitas Banyak Mudarat Ketimbang Manfaat

JAKARTA – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 lalu masih menyisakan masalah, yakni keterbelahan antara pendukung dua Capres saat itu. Hal ini tidak lepas dari politik identitas yang dijalankan oleh para elit.

Akibat dari politik identitas ini, perpecahan antar anak bangsa terus terjadi hingga saat ini. Kemunculan politik juga tidak lepas dari politik identitas

Pendapat ini disamaikan Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) MPR RI yang duduk di Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus berbicara dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema ‘Merawat Persatuan dan Menolak Politik Identitas Menjelang Pilpres 2024’, di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/10/2021).

Kemunculan politik identitas dalam dinamika politik yang sangat beragam di Indonesia, menurut Guspardi, tidak terlepas dari adanya rasa ketidakadilan dan persamaan hak yang diklaim oleh masing-masing kelompok atau golongan sosial tertentu. Selain itu, perbedaan yang menjadi tolak ukur utama dari keberagaman yang ada di Indonesia, menjadikan politik identitas semakin mempertegas perbedaan tersebut.

“Kalau saja bermanfaat, kenapa tidak itu kita lakukan? Tetapi dari pengalaman sejarah dua kali kita melakukan Pilpres pada 2014 dan 2019, melihatkan kecenderungan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dari sisi itulah melihat,” kata Legislator PAN asal Dapil Sumatera Barat (Sumbar) ini.

Oleh karena itu kita perlu meminimalisir, menghilangkan ada upaya-upaya agar politik identitas itu secara bertahap harus dihentikan. Pembiaran terhadap konflik yang dilatarbelakangi oleh politik identitas yang beragam akan menciptakan ketidakstabilan negara,” sambungnya.

Soal apakah bisa dihentikan, Guspardi justru merasa pesimin hal itu bisa dilakukan, karena bagaimanapun elemen bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Asia ini dengan jumlah penduduknya sudah lebih dari 270 juta.

Ditambah dengan beragam etnis dengan beragam ras, latar belakang pendidikan dan lain sebagainya, bagaimanapun itu akan mempengaruhi nilai-nilai dari orang yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pilpres yang akan dilakukan.

“Jadi kalau kita lihat dalam pemilihan legislatif (Pileg), politik identitas tidaklah begitu nampak dan tidak pula secara terang benderang. Karena apa? Karena memang jumlah caleg yang akan dipilih itu itu sangat beragam dan mereka-mereka itu berasal dari daerah pemilihan, sehingga gesekan terhadap pelaksanaan pileg berkaitan terhadap politik identitas tidak kentara. Saya nyatakan, tidak menimbulkan persoalan apa-apa,” ujarnya

Tetapi ketika pelaksanaan pilpres, karena hanya beberapa orang calon dan bahkan paling banyak 3 sampa 5 paling tinggi, manurut Guspardi, akan sangat terlihat jelas, karena tetap mengacu kepada undang-undang yang lama.

Memang ada upaya dari Komisi II DPR kemarin untuk melakukan omnibus law terhadap pemilu dan politik, dengan menyatupadukan sejumlah UU, namun ada kesepakatan dari Komisi II DPR untuk melakukan revisi terhadap UU No.10 Tahun 2016 dan UU No. 7 Tahun 2017, tetapi karena aanya desakan dan dala, kondisi pandemi Covid-19, ada kesepakatan untuk tidak melanjutkan dalam kondisi sekarang ini.

“Artinya adalah, bahwa pelaksanaan Pileg, Pilpres dan Pilkada di mana sudah diatur oleh undang-undang bahwa pelaksanaan itu dilakukan keserentakan itu pada tahun 2024. Ditambah lagi belum ada ketetapan dari Komisi II DPR bersama pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP, apakah akan dilakukan tanggal 21 Februari 2024 atau 15 Mei yang diajukan oleh pemerintah,” tuturnya. (***)

Komentar