LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Berbagai kebijakan dan terobosan sudah dilakukan Pemerintah, namun persoalan minyak goreng yang langka dan mahal hingga detik ini masih belum juga jelas juntrungannya.
Penerapan kebijakan baru, yakni domestic mandatory obligation (DMO) di mana para eksportir CPO harus mengalokasikan 20 persen dari total volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri dan domestic price obligation (DPO) yaitu menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng menjadi Rp14.000 per liter, dampaknya belum dirasakan sepenuhnya. Rakyat masih kesulitan mengakses minyak goreng dengan harga sesuai HET.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan bahwa kebijakan DMO dan DPO sebagai solusi persoalan kelangkaan minyak goreng sudah cukup baik. Dua kebijakan ini tepat sebagai strategi jangka pendek untuk menstabilkan harga dan pasokan minyak goreng. Namun, hingga saat ini dampak kedua kebijakan ini belum dirasakan rakyat. Ini artinya ada persoalan di implementasinya.
“Kalau memang saat ini sedang dalam proses stabilisasi, menurut saya ini sudah terlalu lama. Rakyat di mana-mana sudah resah karena susah mendapatkan minyak goreng. Kebutuhan minyak goreng ini bukan hanya untuk kebutuhan lingkup keluarga saja, tetapi ada jutaan UMKM yang produksinya terganggu akibat susahnya mendapat minyak goreng sesuai HET,” ujar Anggota DPD RI Fahira Idris, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/2/2022).
Kelangkaan minyak goreng, lanjut Senator dari daerah pemilihan DKI Jakarta ini, berdampak buruk terhadap ekonomi rakyat. “Pemerintah harus bekerja lebih cepat, temukan segera jalan keluarnya. Di lapangan rakyat sudah resah,” tegasnya.
Menurut Fahira, dalam jangka pendek ini, Pemerintah harus melakukan berbagai terobosan lagi untuk memastikan akses rakyat mendapatkan minyak goreng sesuai HET terbuka seluas-luasnya.
Disarankannya, salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah Pemerintah membentuk tim khusus untuk memastikan kebijakan DMO dan DPO berjalan baik di lapangan. Tim khusus ini juga harus terjun ke lapangan untuk menginventarisasi dan mendengarkan keluhan masyarakat baik pedagang maupun pembeli minyak goreng.
“Harus dipastikan produsen mematuhi ketentuan DMO dan DPO dan diberi sanksi tegas jika melanggar. Kemudian penyaluran minyak goreng juga harus dipastikan jangan hanya dipasok ke ritel modern saja tetapi juga ke pasar-pasar tradisional untuk memudahkan akses masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, yang juga penting imbuh Fahira Idris, adalah percepatan proses pengiriman minyak goreng ke berbagai wilayah baik lewat jalur darat maupun laut.[liputan.co.id]
Komentar