LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Kelompok DPD RI di MPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum atau RDPU untuk pendalaman materi terhadap pandangan DPD RI di MPR RI terhadap keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2014-2019, di Ruang Majapahit, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, (24/3/2022).
Ketua Kelompok DPD di MPR RI Tamsil Linrung menyatakan, Kelompok DPD di MPR RI saat ini sedang melakukan kajian terhadap Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 tentang Rekomendasi MPR RI masa Jabatan 2014-2019.
Substansi dari rekomendasi tersebut yaitu Pokok-Pokok Haluan Negara; Penataan Kewenangan MPR; Penataan Kewenangan DPD; Penataan Sistem Presidensil; Penataan Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukum Negara dan Pelaksanaan permasyarakatan nilai Pancasila; negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika; serta Ketetapan MPR.
Selain itu kata Tamsil, DPD RI juga fokus pada pembahasan yang menyangkut tentang pelaksanaan Pemilu, khususnya pasal 6 UUD 1945 yang menyatakan tentang ketentuan presidential threshold.
“DPD RI mempunyai keinginan agar persoalan yang menyangkut pasal dapat segera terselesaikan. Selain itu DPD RI sudah membawa melalui judisial review tetapi sudah dinyatakan tidak memenuhi legal standing,” ujar Senator Sulawesi Selatan itu.
Senada dengan Tamsil, Senator asal DKI Jakarta Fahira Idris yang memimpin jalannya rapat mengatakan, kajian yang dilakukan oleh Kelompok DPD RI di MPR RI terhadap Rekomendasi MPR RI diharapkan bersifat komprehensif sebagai panduan bagi Kelompok DPD di MPR RI dalam menghadapi pembahasan di MPR yang rencananya akan dilaksanakan mulai April 2022.
Fahira menjelaskan, penataan sistem presidensial sebagai salah satu aspirasi daerah dan masyarakat yang dilakukan oleh DPD di MPR RI, terdapat beberapa materi UUD NRI 1945 yang dianggap memiliki urgensi untuk dilakukan perubahan, salah satunya yaitu tentang meminimalisir adanya hegemoni partai politik dalam pengajuan calon presiden dan wakil presiden.
“Dalam pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan bahwa pengusulan calon presiden dan wakil presiden hanya dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, hal ini yang kemudian disinyalir telah mengurangi hak warga negara untuk memilih,” tambah Fahira.
Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara Zain Badjeber dalam pemaparannya menjelaskan, dalam menata kewenangan, yang harus dilihat pertama kali adalah kekuatan politik yang ada saat ini.
Menurutnya, perlu untuk mencermati perbedaan pendekatan politik saat ini dengan masa sebelumnya. Perubahan akan lebih baik dilakukan dengan melalui revisi undang-undang karena apabila melalui revisi UUD 1945 maka prosesnya akan panjang.
“Perubahan undang-undang adalah perubahan yang soft, kalau melalui konstitusi jalannya lebih berkelok-kelok dan menggunakan silent operation. Kita fokus dalam keinginan dari DPD RI saja, bukan hanya membahas tapi sampai menyetujui, kalau itu belum mungkin ada perubahan dalam undang-undang dasar kita bisa menggunakan tafsir. Di sini jalan yang paling gampang melalui undang-undang,” tambahnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, I Dewa Gede Palguna menjelaskan perihal sistem presidensial, di mana tidak ada ciri-ciri yang seragam dalam sistem pemerintahan presidensial di berbagai negara, tetapi ada ciri-ciri umum yang sudah tertuang dalam UUD 45 setelah dilakukan perubahan dan juga menjelaskan mengenai penambahan masa jabatan itu hanya sekedar keinginan.
“Tidak ada ciri-ciri yang seragam dalam sistem pemerintahan presidensial di berbagai negara tetapi ada ciri-ciri umum yang telah cukup tertuang dalam UUD 1945 setelah melakukan perubahan, karena itu jika dimaksud dengan penataan sistem presidensial dalam TOR adalah melakukan (kembali) UUD 1945, saya tidak berpendapat karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Selain itu, suara yang mengendaki penambahan masa jabatan presiden lebih dari dua kali bukan kebutuhan melainkan sekedar keinginan elit,” pungkasnya.[liputan.co.id]
Komentar