LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Aktivis yang tergabung dalam Presidium People Aspiration Center atau PEACE mendukung DPD RI memperjuangkan penghapusan Presidential Threshold.
Dukungan disampaikan saat beraudiensi dengan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/6/2022).
Ketua Umum PEACE, Ahmad Shahab, menyampaikan lembaganya selalu menyoroti dan melakukan kritik keras terhadap perilaku politisi di negeri ini. “Kami ingin berembuk, agar DPD RI memiliki peranan yang besar,” tutur Ahmad.
Dikatakannya, semakin hari perilaku oligarki semakin ugal-ugalan. Mereka menguasai semua hajat hidup orang banyak tanpa memikirkan kelangsungannya di masa mendatang.
“Perilaku oligarki sudah di luar batas. Mereka menguasai semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus ada perubahan mendasar terhadap hal ini,” ujarnya.
Pembina PEACE, Amir Akbar, menambahkan, ketimpangan dan ketidakadilan dapat dilihat dengan gamblang. “Begitu banyak ketimpangan dan ketidakadilan di negeri ini. Perpecahan terjadi di mana-mana,” ujar Amir.
Menurutnya, DPR RI saat ini sudah tak bisa diharapkan lagi. Satu-satunya harapan tempat bergantung ada pada institusi DPD RI. “Kami sudah tak bisa lagi menyandarkan harapan kepada DPR RI. Kami melihat ada harapan yang besar di DPD RI. Dan kami menilai perubahan bangsa ini kuncinya ada di Presidential Threshold,” tegas Amir.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menjelaskan alasan lembaga yang dipimpinnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Karena selain melanggar konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam naskah pembukaan konstitusi kita,” ujar LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu menegaskan ambang batas pencalonan Presiden dari 20 persen menjadi nol persen adalah sebuah keharusan. “Presidential Threshold merupakan salah satu faktor pemicu masuknya oligarki untuk menyandera dan memaksa kekuasaan berpihak kepada mereka,” tegas LaNyalla.
Hal itu terjadi dalam proses pemilihan pemimpin nasional, karena dari situlah biaya konsolidasi partai politik yang dipaksa harus berkoalisi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres menjadi mahal.
“Mahalnya biaya politik itulah yang menjadi pintu masuk bagi oligarki ekonomi untuk membiayai sekaligus menyandera kekuasaan,” ujar LaNyalla.[liputan.co.id]
Komentar