LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Tim Kuasa Hukum Partai Gelora untuk Judicial Review, Said Salahudin menyatakan, proses pembuktian pokok permohonan dalam sidang pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi atau MK tetap diperlukan.
Apalagi Said, batu uji yang dijadikan dasar gugatan berbeda dengan perkara-perkara yang sudah diputus sebelumnya.
“Saya kira, MK harus memenuhi hak konstitusional pemohon agar kerugian konstitusional yang ditimbulkan dapat diketahui dan dipulihkan. Ini tidak ada penjelasan sama sekali, cuma ditolak. Putusannya konfius, membingungkan,” kata Said, dalam Gelora Talk bertajuk ‘Menyoal Putusan MK atas UU Pemilu: Pilihan Rakyat Makin Terbatas’, digelar secara daring, Rabu (13/7/2022).
Selain itu, lanjutnya, dalam gugatan Partai Gelora, MK juga tidak membantah semua argumentasi hukum yang disampaikan pemohon, termasuk soal original intent dan batu uji yang berbeda, sehingga memiliki legal standing.
“Tapi Mahkamah sudah berpakem, bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak bisa dijadikan alasan Mahkamah untuk menggeser pandanganya soal Pemilu Serentak,” katanya.
Namun, apabila pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dalam proses pembuktian, ia yakin pandangan Hakim Konstitusi soal Pemilu Serentak akan berubah.
“Saat ini sedang dipertimbangkan untuk mengajukan gugatan kembali. Tapi kita bertanya-tanya, apakah paradigma MK masih sama atau tidak, kita tidak tahu, meski MK menyatakan tidak menutup peluang untuk menguji pasal ini agar bisa menggeser pandangan hukumnya secara fundamental mengenai Pemilu Serentak,” ujarnya.
Di acara yang sama, juru bicara MK, Fajar Laksono Soeroso, mengatakan soal permohonan uji materi yang mempersoalkan keserentakan Pemilu sudah dipertimbangkan dalam putusan-putusan sebelumnya, seperti Putusan Nomor 14 Tahun 2013 dan Nomor 55 Tahun 2019.
“MK sudah punya penafsiran sendiri, bahwa pemisahan Pemilu itu inkonstitusional, sementara yang serentak itu konstitusional. Keputusan itu, sudah jelas sehingga MK tidak perlu lagi mendengar keterangan ahli dan saksi, karena sudah memiliki penafsiran soal Pemilu Serentak,” kata Fajar.
Putusan MK tersebut, lanjut Fajar, juga diperkuat dalam ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 2020 yang memungkinkan Hakim Konstitusi tidak perlu mendengar keterangan ahli dan saksi ahli lebih lanjut, karena sudah memiliki pendirian yang jelas.
“Kita memahami apa yang disampaikan pemohon, bisa jadi kalau ahli dan saksi dihadirkan di persidangan, pandangan Hakim Konstitusi berubah, tapi bisa juga tidak berubah. Sehingga kemudian menjadi asumsi saja,” katanya.
Karena sekedar asumsi, meski ahli dan saksi dihadirkan di persidangan, jika putusannya tetap ditolak, kata Fajar, maka sama saja tidak puas seperti tidak dihadirkan dalam persidangan.
“Bagaimana membuktikan sembilan Hakim itu tidak independen, karena persidangan berlangsung terbuka. MK dalam putusan soal isu konstitusional, sampai hari ini pendirianya jelas dan sudah dituangkan dalam putusan-putusan,” pungkas Fajar.[liputan.co.id]_(Fas).
Komentar