Menperin Semangat Produksi Obat Dalam Negeri, Ribka: Tapi Menteri yang Satunya Gila Impor

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Ribka Tjiptaning Proletariyati mempertanyakan langkah pemerintah memproduksi obat dalam negeri, sebagaimana klaim Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, bahwa industri farmasi nasional telah menguasai produksi obat sekitar 89 persen.

Menurut Ribka, upaya memproduksi obat di dalam negeri digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Ribka yakin, jika terealisasi, akan baik untuk kebutuhan obat dalam negeri.

“Kalau sampai bolak-balik, mental orang-orang kita sendiri yang harus diubah. User-nya harus mau pake produk dalam negeri. Kemarin berkembang isu ginjal akut kronis, belum-belum Menteri Kesehatan mau impor obat dari Singapura dan Australia dengan harga Rp16 juta per vial. Enggak mungkin ditanggung BPJS,” kata Ribka, dalam Raker Komisi VII DPR RI dengan Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Lebih lanjut, politikus PDIP itu menanyakan semangat pemerintah untuk menuju kemandirian obat dalam negeri. “Jangan sampai Menperin semangat ke sana (kemandirian obat dalam negeri, memproduksi, mendorong obat-obat dalam negeri, tapi (menteri) yang satunya gila impor. Soalnya impor ada fee-nya. Dalam negeri enggak. Dokter-dokter kita juga (orientasi obat impor). Yang idealis ada 10 persen saya lihat,” ujar Ribka.

Dia ungkap, pasien mengeluhkan obat yang disarankan dokter cukup mahal. “Ternyata dokter suka obat yang paten, padahal pakai obat generik bisa. Karena ada janjinya itu, lho, (buat dokter). Kalau pakai obat paten ada reward, jadi enggak mau tahu pasien keberatan atau nggak untuk membayar tagihan obat. Ini yang sulit. Padahal mungkin obat generik bisa lebih bagus dibanding obat paten,” tegas Ribka.

Ribka mengaku bingung pihak mana yang semangat produksi obat dalam negeri ini. “Apakah di Kemenperin, Kemendag atau Kemenkes?” tanya Ribka.

Ribka mengungkapkan, penderita thalassemia di Indonesia sekitar 17 ribu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan yang tercover BPJS Kesehatan hanya 5 ribuan peserta.

“Kalau dia (pasien) obat itu impor dengan pajak tinggi, disamain saja dengan beli mobil mewah. Kalau bebas pajak, bisa 1 (obat) banding 3 (obat). Yang tadinya 1 obat, thalassemia ini orang kaya bisa miskin. Karena biaya 1 tahun bisa sampai Rp300 juta buat 1 anak. Bayangkan masih kena pajak seperti pajak mobil. Kalau itu bisa diproduksi di dalam negeri, jangan sampai itu nanti semangatnya fee lagi,” imbuhnya.

Sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan saat ini industri farmasi nasional telah menguasai produksi obat dalam negeri sekitar 89 persen. Namun, 90 persen bahan baktu obat (BBO) aktif maupun bahan baku penolong yang digunakan industri tersebut ternyata masih harus diimpor.

“Beberapa obat yang masih perlu diimpor di antaranya obat-obat yang masih dalam masa paten, berbagai jenis produk biologi, dan obat-obat dengan bentuk dosis yang spesifik seperti aerosol, inhaler, atau pen insulim,” ujar Agus Gumiwang.

Ditambahkan Agus Gumiwang, pemerintah tengah berupaya melakukan transformasi sistem kesehatan, dengan meningkatkan ketahanan sektor farmasi melalui penggunaan produk lokal, produk farmasi berbasis biologi, vaksin, dan bahan aktif obat.

Sejumlah industri farmasi dalam negeri, kata Agus Gumiwang, telah menyampaikan komitmennya kepada Kemenperin untuk mengganti penggunaan bahan baku impor dengan bahan baku lokal. “Salah satu program yang kami dorong yaitu Obat Modern Asli Indonesia,” pungkasnya.

Komentar