Partai Gelora Minta Nasionalisme dan Agama Tak Dijadikan Kepentingan Politik Sesaat Demi Target Elektoral Semata

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai benturan ideologi politik antara Islam dan nasionalis, seperti Islam melawan komunis, dan Islam melawan sosialis yang sudah ada sejak era Presiden RI Soekarno, masih terjadi hingga kini.

Benturan ideologi politik tersebut, menurut Tengku Zulkifli Usman, Juru Bicara (Jubir) Nasional Pemenangan Pemilu Partai Gelora, semakin tajam menjelang Pemilu 2024.

“Seharusnya, benturan ideologi ini tidak harus terjadi. Karena sejatinya Islam dan nasionalis bukanlah sesuatu yang perlu dibenturkan. Seharusnya saling menguatkan,” kata Tengku Zulkifli Usman, Selasa (28/3/2023).

Ditegaskannya, masalah Islam dan nasionalis sudah selesai, ketika Indonesia ditakdirkan menjadi negara muslim terbesar di dunia. Seharusnya Islam dan nasionalis harus jalan berdampingan secara elegan.

Partai Gelora, partai nomor 7 di Pemilu 2024 ini berpandangan ada upaya terus menerus yang dilakukan kelompok tertentu untuk membenturkan Islam dengan nasionalis pasca reformasi.

“Golongan yang mengaku nasionalis takut kepada Islam. Dan kalangan Islam juga mencurigai kalangan nasionalis. Seharusnya ini tidak boleh terjadi,” kata Tengku Zulkifli

Salah satu faktor utama benturan itu, katanya, adalah ketidakmampuan melakukan rekonsiliasi ideologi dan konsolidasi demokrasi secara tepat.

Faktor lainnya, adalah faktor luar, di mana rezim di Indonesia banyak mendengar bisikan luar tentang islamophobia, sehingga menimbulkan ketegangan yang terus menerus antara Islam dan nasionalis, Islam dan negara.

Partai Gelora termasuk yang merasa prihatin dengan realitas ini. Oleh sebab itu, Partai Gelora mengusulkan upaya rekonsiliasi dan konsolidasi demokrasi, sehingga upaya persatuan akan tercapai.

“Karena pada dasarnya, apa pun ideologi penguasa, baik itu Islam ataupun nasionalis. Jika basisnya adalah gotong royong dan ada rasa saling berkolaborasi. Maka benturan seperti ini tidak harus terus berlanjut,” ujarnya.

Pasca reformasi, lanjutnya, upaya untuk membenturkan ideologi juga terus berjalan. Hal ini sebenarnya sudah tidak relevan, mengingat zaman yang sudah berubah dan tantangan Indonesia juga yang sudah berubah.

“Partai Gelora tidak punya masalah dengan nasionalis dan juga tidak punya masalah dengan Islam, karena sebenarnya keduanya adalah khazanah kekayaan kita. Tidak seharusnya dijadikan sebagai alat untuk saling membenturkan. Inilah yang kami sebut nasionalisme baru yang kita butuhkan,” tegasnya.

Karena itu, kata Tengku Zulkifli, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menawarkan sebuah semangat baru dan narasi baru dalam bernegara. Sebab, Indonesia sebagai bangsa saat ini harus mampu menjawab tantangan masa depannya yang tidak menentu saat ini.

Sebab, kondisi dunia saat ini tidaklah sama dengan masa lalu. Tidak sama dengan era dimana dunia baru selesai Perang Dunia II dalam iklim bipolar atau era pasca perang dingin dengan iklim unipolar.

“Dunia saat ini ada dalam kondisi multipolar. Di mana lahir banyak kekuatan baru yang menantang posisi aman dan status quo Amerika,” jelasnya.

Yakni ada Rusia yang menantang adidaya dengan militernya, dan ada China yang menantang adidaya dengan size ekonominya. Titik keseimbangan Dunia sudah berubah total.

“Partai Gelora menawarkan jalan tengah, jalan kolaborasi, jalan rekonsiliasi sesama anak bangsa untuk menatap Indonesia baru dengan arah baru yang lebih naratif,” ujar Tengku Zulkifli Usman.

Dikatakannya, tidak ada keuntungan sama sekali dengan adanya benturan-benturan ideologi tadi di dalam negeri kita. Kecuali kita akan kalah dan masuk jebakan musuh.

Partai Islam dan partai nasionalis sudah seharusnya melihat kepentingan bangsa yang lebih luas dan berhenti untuk saling berbenturan. Karena hanya dengan modal persatuan ini, Indonesia akan selamat dalam meniti langkah ke depan.

Bahkan, menurutnya, tidak ada artinya jika partai nasionalis dan label Pancasilais, apabila tidak menegakkan konstitusi. Masih rajin memelihara feodalisme, rajin pencitraan namun nihil kerja-kerja nyata yang bisa dirasakan oleh rakyat.

“Apa artinya lebel partai Islam, jika ketuanya masuk penjara dan ditangkap KPK. Regenerasi yang tidak berjalan, dan demokrasi yang gagal di dalam tubuh partainya sendiri,” tegasnya.

Fondasi Berpikir
Tengku Zulkifli Usman mengatakan, nasionalisme seharusnya dipakai untuk fondasi berpikir untuk memperbaiki bangsa. Bukan sebaliknya untuk politik praktis semata.

Agama juga seharusnya dipakai untuk memperkuat sendi-sendi negara. Memperkuat pertahanan dan kedaulatan dalam negeri untuk persiapan menuju negara maju.

“Agama jangan hanya dipakai untuk mencari dukungan suara demi Pemilu semata. Seharusnya agama tidak dipakai untuk menipu rakyat 5 tahunan demi ambisi ketua umum partai untuk sekedar berkuasa dan menunggangi suara umat,” katanya.

“Nasionalisme dan agama seharusnya juga bukan untuk dipakai hanya demi kepentingan politik sesaat. Bukan untuk ambisi rendah para politisi hanya demi mengejar target elektoral semata,” imbuhnya.

Wakil Ketua Bidang Narasi DPN Partai Gelora ini menegaskan, Partai Gelora tidak mau sibuk dengan isu pro kontra partai Islam atau partai nasionalis.

Sebab, Partai Gelora bukan partai yang sibuk mengurus ceruk-ceruk pemilih, apakah ceruk kanan apa ceruk kiri, apakah pemilih kanan atau pemilih kiri.

“Bagi kami, siapa pun anak bangsa yang ingin melihat Indonesia menjadi negara bersih dari korupsi, negara yang kuat militernya, canggih teknologinya, makmur rakyatnya, sejahtera penduduknya, matang demokrasinya, tegak konstitusinya. Maka bergabunglah dengan Partai Gelora,” ajaknya.

Partai Gelora tidak mau terjebak, apakah masuk partai Islam atau partai nasionalis, partai agamis atau partai Pancasilais, tidaklah penting. Karena Partai Gelora punya cita-cita untuk menjadikan Indonesia jauh lebih baik dan memiliki daya tawar tinggi di level dunia.

Tengku Zulkifli menegaskan, Partai Gelora ingin mengakhiri konflik-konflik yang tidak perlu dan menguras tenaga. “Kita ingin melangkah jauh mempersiapkan Indonesia agar siap menghadapi tantangan tantangan global di depan mata yang berpotensi mengancam Indonesia,” katanya.

Indonesia saat ini, lanjutnya, perlu narasi kolaborasi atau kerjasama sesama anak bangsa. Sehingga perbedaan yang ada harus dikelola dengan baik agar bisa diperjuangkan bersama-sama.

Adapun hal utama yang mendesak untuk dilakukan adalah mendidik generasi sekarang menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya. Sehingga diharapkan akan muncul konsensus bersama sebagai bangsa yang serius untuk memajukan Indonesia ke depan.

“Kita lebih baik mengajak generasi sekarang untuk berpikir memiliki nasionalisme baru. Melihat Indonesia dengan penuh kebanggaan sebagai negara besar, dan berani mencita citakan Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara superpower dunia lain,” pungkasnya.

Komentar