Politikus PAN Ingatkan Semua Pihak Tidak Mencoba Paksakan Monolitik

LIPUTAN.CO.ID, JakartaAnggota Komisi X DPR RI, Profesor Zainuddin Maliki mengingatkan semua pihak untuk tidak mencoba memaksakan kebijakan monolitik, memaksa bersatu tanpa perbedaan.

Menurutnya, Negeri ini hanya akan kuat jika persatuan yang dibangun berbasis pengakuan terhadap berbagai perbedaan, suku, ras, bahasa maupun agama.

Peringatan melarang pemaksaan monolitik itu, kata Zainuddin, dimaksudkan untuk menumbuhkan persatuan yang genuine (sejati), dan kokoh, sehingga, kedewasaan masyarakat untuk bersatu di tengah perbedaan harus diperkuat.

Persatuan yang genuine dan kokoh itulah yang bisa dijadikan modal berharga untuk meraih cita-cita nasional sebagaimana digariskan oleh para founding fathers kita yaitu menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat, adil, sejahtera dan berkemajuan,” kata Zainuddin, dalam rilisnya, Kamis (2/3/2023).

Dijelaskannya, Indonesia pernah mencatat sejarah adanya sebuah rezim yang berkuasa tiga dekade, namun akhirnya runtuh. Rezim tersebut yakni Orde Baru.

Pemegang Satya Lencana Karya Satya itu menilai, itu terjadi karena masyarakat dipaksa untuk bersatu tanpa memberi ruang tumbuhnya pengakuan terhadap perbedaan sebagaimana mestinya.

“Rezim Orde Baru take off (lepas landas) dengan benar, tetapi landing (mendarat) dengan salah,” tegasnya

Diketahui, Zainuddin Maliki melakukan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Gresik, Rabu (1/3/2023) lalu.

Dalam kegiatan yang dihadiri tokoh-tokoh partai politik, alumni Sekolah Pasca Sarjana Unair tersebut ia memaparkan, setidaknya di akhir pemerintahan, Orde Baru memilih strategi bersatu tanpa perbedaan, dengan menjalin korporasi, mobilisasi, dan bahkan dengan sejumlah tindakan kekerasan.

“Akibatnya yang muncul kemudian adalah persatuan semu dan menyebarnya ketidakpuasan,” tegasnya.

Sebenarnya, lanjut Zainuddin, rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade itu memulai pemerintahannya dengan strategi yang benar dengan berpegang pada prinsip-prinsip pluralisme dan pemerintahan yang demokratis. Perbedaan pun diakui. Aspirasi politik disalurkan dalam berbagai partai politik, sehingga tahun 1971 tak kurang dari 10 partai tercatat sebagai peserta Pemilu.

Tetapi setelah terjadi penyederhanaan partai dengan cara melakukan fusi sejumlah partai, juga penunggalan azas, dirinya mengungkapkan bahwa pluralisme pun menjadi terberangus. Perkembangan politik di negara ini kemudian menjadi monolitik.

“Dari sinilah kemudian memicu penyebaran ketidakpuasan masyarakat yang berakhir dengan munculnya gerakan reformasi 1998. Rezim yang berkuasa tiga dekade itu pun terpaksa harus landing dengan cara yang salah,” imbuhnya.

Komentar