JAKARTA – Desakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar terus disuarakan oleh para kader bawah dan elit partai pasca hasil survei menempatkan suara Golkar di Pemilu 2024 turun hingga di bawah 10 persen.
Banyak kader yang mengklaim bahwa penurunan suara Golkar ini akibat dari Ketua Umum Partai Airlangga Hartarto tidak menjual sebagai calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, Partai Golkar sebagai partai besar memiliki keinginan kuat untuk mencalonkan kader terbaiknya sebagai capres atau cawapres, namun untuk menentukan koalisi saja Golkar tidak mampu melakukannya.
Ditambah lagi, Bawono menilai Airlangga tidak memiliki daya jual untuk ditawarkan menjadi capres karena elektabilitas nya rendah, sehingga posisi ini membuat para kader dan elit partai merasa khawatir jika kondisi tersebut terus dibiarkan, maka posisi partai akan mengalami penurunan suara yang signifikan.
“Ini kan tentu yang membuat kegelisahan, ini yang saya lihat dimaksudkan oleh senior-senior Partai Golkar bahwa Partai Golkar kehilangan marwah dan martabatnya sebagai partai besar, Partai Golkar ini kan partai yang diciptakan untuk berkarya secara gamblangnya berkuasa,” kata Bawono Kumoro, Minggu (30/7).
Tidak hanya soal elektoral Airlangga Hartarto, masalah hukum yang menyeret nama Airlangga juga menjadi masalah krusial bagi partai yang pernah menjadi berkuasa selama 32 tahun di Indonesia.
Menurut Bawono, saat ini Golkar tidak memiliki daya tawar politik yang bagus untuk mengusung kadernya, baik sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden. Terlebih, Airlangga belum mampu mengangkat elektabilitas dirinya sendiri yang hal itu kemudian dimaknai oleh sebagian kader sebagai momentum tepat untuk menyelamatkan partai lewat Munaslub.
“Memang yang menjadi problem saat ini adalah Golkar tidak mempunyai tokoh untuk bisa dijual sebagai bakal calon presiden, ataupun bakal calon wakil presiden. Kalau kita lihat kan Pak Airlangga tidak memiliki daya saing elektoral dibandingkan nama-nama lain, apalagi nama-nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar pranowo dan Anies Baswedan,” ucapnya
Menurutnya, sejak terpilihnya Airlangga sebagai ketum pada munaslub 2019, elektabilitas partai Golkar terus mengalami penurunan tren elektabilitas. “Berarti hampir tidak ada peningkatan elektabilitas dari Airlangga Harto sejak terpilih sebagai ketua umum Golkar,” ucapnya.
Dijelaskan Bawono, sejak era reformasi dalam empat kali Pemilu secara langsung di tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019, Partai Golkar tidak pernah berhasil menempatkan kader terbaiknya sebagai presiden, paling maksimal itu sebagai wakil presiden sebanyak dua kali yakni Jusuf Kalla (JK).
“Artinya baru dua kali berhasil membawa kader mereka itu untuk tampil sebagai calon presiden, itu Pak Wiranto tahun 2004, Pak JK pada 2009 karena tidak menang juga, memang ini problem Partai Golkar sebenarnya secara problem akut dari Partai Golkar bahwa Partai Golkar ini kehilangan kemampuan untuk berkuasa,” jelasnya.
Lanjut Bawono, partai berlambang pohon beringin ini seperti mulai kehilangan kemampuan untuk tetap berkuasa pasca reformasi.
Hal itu tercermin dari hasil survei, misalnya survei indikator yang dirilis periode Juni atau tujuh bulan menjelang Pemilu, suara Partai Golkar sudah di bawah 10 persen dan jika dibandingkan dengan tujuh bulan sebelum Pemilu 2019 lalu, survei Indikator mencatat suara Partai Golkar masih 11 persen.
“Artinya dari situ kan ada indikasi alarm bahaya itu yang menandakan bahwa Partai Golkar di 2024 ini kalau tidak segera mengambil tindakan-tindakan strategis akan menjadi partai menengah, akan terlempar dari posisi 3 besar,” ungkapnya.
“Selama ini kan Partai Golkar selalu di posisi 3 besar kan. Nah ini kalau tidak diambil langkah strategis akan terlempar jadi partai menengah yang hanya raihannya itu satu digit, itulah yang saya pikir memicu dinamika internal Partai Golkar di 200 hari atau 7 bulan menjelang Pemilu ini,” tambahnya.
Bawono pun tidak menapik jika reaksi keras kader dan elit partai agar Airlangga diganti lewat Munaslub dalam waktu cepat adalah bagian dari ketakutan kader jika partai mengalami turbulensi parah di Pemilu 2024.
“Kalau misalnya acuannya adalah hasil survei yang tadi saya sampaikan bahwa di tujuh bulan menjelang Pemilu 2024 ini, Partai Golkar elektabilitasnya tinggal satu digit dan juga Partai Golkar tidak memiliki figur untuk dijual ke publik sebagai capres dengan elektabilitas menjanjikan, dalam hal ini ketua umum mereka maka kalau ada penilaian itu tidak bisa disalahkan juga,” bebernya.
Lebih jauh Bawono, salah satu indikator meningkatnya suara partai jelang Pemilu adalah tampilnya kader terbaik partai sebagai capres atau cawapres, karena memberikan cocktail efek bagi suara partai.
“Partai itu memang tidak terlalu dilihat oleh pemilih, lebih kepada figur dan partai-partai yang memiliki figur menjanjikan sebagai calon presiden itu sangat diuntungkan tentu saja, apalagi Pemilunya berlangsung secara bersamaan. Sehingga ditengarai ada potensi efek ekor jas itu, cocktail efek,” paparnya.
Bawono menerangkan partai yang relatif stabil dan cenderung mengalami peningkatan suara itu berkat figur yang diusung seperti halnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan berkah bagi PDI Perjuangan dan juga Prabowo Subianto ketum Gerindra yang terus maju sebagai capres memberikan sebuah keuntungan bagi partai.
“Nah kalau kita lihat sebenarnya secara umum partai-partai yang stabil suaranya tidak mengalami penurunan dari survei-survei yang kami lakukan itu kan cuman ada dua, PDIP dan Gerindra, karena dua partai itu bisa dipahami PDI Perjuangan kan partainya Pak Jokowi, kalau publik melihat kinerja Pak Jokowi berarti juga PDI Perjuangan mendapatkan dampak positifnya, ditambah lagi mereka punya calon presiden yang memiliki daya saing elektoral yang baik yaitu Ganjar pranowo,” ucapnya.
“Nah Gerindra juga jelas bahwa mereka memiliki figur untuk dijual sebagai calon presiden dan satu hal yang menjanjikan untuk memimpinnya,” tutup Bawono. (***)
Komentar