LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI mengapresiasi proposal kenegaraan yang ditawarkan DPD RI.
Bahkan, ICMI berkomitmen membuat forum khusus untuk memperkuat proposal kenegaraan tersebut dalam rangka membahas konstruksi bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa.
“Naskah akademik DPD RI akan kita bahas di forum yang lebih besar. Kita rancang betul semacam konvensi untuk merekonstruksi sistem kenegaraan kita,” kata Ketua Umum ICMI, Profesor Arif Satria pada pertemuan dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Kantor ICMI Pusat, Jumat (13/10/2023).
Profesor Arif melanjutkan, sebagai lembaga intelektual, ICMI memiliki tanggung jawab dalam mempersiapkan generasi masa depan dan merespons berbagai hal, termasuk soal struktur kenegaraan.
“Reformasi sudah berjalan selama 20 tahun. Saya kira sudah saatnya kita evaluasi. Kita harus jernih menarik hikmah dari proses ini,” kata Arif.
Profesor Arif mengapresiasi DPD RI yang selama ini berkomitmen menjaga dan merawat bangsa dalam sebuah format yang lebih pas dalam kondisi kekinian maupun masa depan.
“Sistem politik kita seperti sekarang ini perlu banyak dievaluasi. Pemilu ini juga dampaknya luar biasa pada moralitas anak bangsa. Demokrasi kita sekarang hanya demokrasi angka yang menghasilkan kepemimpinan elektoral, bukan substansial. Sudah saatnya kita koreksi untuk perbaikan bangsa ke depan,” ujar dia.
Pada saat yang sama, Arif menjabarkan bahwa sesungguhnya bangsa ini belum matang secara politik dan ekonomi. Padahal, menurut dia, keduanya merupakan hal yang penting dalam penguatan bangsa.
“Sistem ekonomi dan politik kita belum kompatibel. Kita tak bisa menciptakan tatanan yang ideal tanpa ada keseimbangan yang holistik. Maka, dua hal ini, politik dan ekonomi, harus dibahas secara serius nantinya melalui forum yang kami buat, dalam rangka memperkuat proposal kenegaraan DPD RI,” tutur Prof Arif.
Secara lebih lugas, Direktur CIDES (Center for Information and Development Studies) ICMI, Andi Faisal Bakti menegaskan bahwa sesungguhnya bangsa ini tak lagi mengimplementasikan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi bangsa.
“Kita sudah tidak menjalankan Pancasila. Batang tubuh sudah berubah. Sila Pancasila tak lagi berkorelasi dengan realita kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Jadi, hal yang amat penting untuk kita evaluasi,” tegasnya.
LaNyalla Mahmud Mattalitti menyambut baik tawaran ICMI yang akan menyiapkan forum khusus guna membahas secara detail proposal kenegaraan yang ditawarkan lembaga yang dipimpinnya. LaNyalla mengaku siap mengorbankan waktu dan pikirannya untuk perbaikan arah bangsa ke depan.
“Saya ucapkan terima kasih kepada ICMI yang memiliki suasana kebatinan yang sama tentang bagaimana sistem bernegara kita saat ini sudah jauh melenceng dari rumusan dan cita-cita para pendiri bangsa. Saya sambut baik tawaran untuk membahas proposal kenegaraan yang kami tawarkan secara lebih dalam,” kata LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur itu juga mengajak kepada ICMI untuk bergabung dalam Dewan Presidium Konstitusi untuk mendesak stakeholder negara seperti MPR, Lembaga-Lembaga Negara, Presiden, TNI dan elemen bangsa lainnya agar terbangun konsensus nasional. Agar bangsa ini kembali kepada UUD 1945 naskah asli, untuk selanjutnya diperkuat dengan teknik adendum.
“Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 telah mengubah 95 persen isi pasalnya. UUD hasil amandemen tersebut telah meninggalkan Pancasila dan menjabarkan nilai-nilai Liberalisme dan Individualisme. Maka, sudah saatnya kita koreksi sistem bernegara kita dan kami sudah memiliki draf kajian akademik yang merupakan rumusan dari lima proposal kenegaraan yang kami tawarkan,” ujar LaNyalla.
Pengamat Ekonomi-Politik Ichsanuddin Noorsy menambahkan, saat ini segala hal bergantung pada partai politik yang pada akhirnya membuat segala hal menjadi terpolitisasi di semua aspek lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Sehingga rusak secara struktural dan kultural. Padahal, kalau kita merujuk pada rumusan pendiri bangsa, mereka yang ingin berkontribusi terhadap Republik ini salurannya tak hanya partai politik, tetapi juga Utusan Daerah dan Utusan Golongan,” tutur Ichsanuddin Noorsy.
Akademisi UI, Dr Mulyadi menjelaskan secara rinci komparasi implementasi sistem demokrasi di Indonesia dan Amerika. Menurutnya, Amerika yang disebut sebagai negara pelopor demokrasi, faktanya tak menggunakan sistem demokrasi langsung seperti diimplementasikan di Indonesia.
“Apa yang terjadi di negeri ini sudah kebablasan. Amerika saja tak menerapkan demokrasi seperti yang diterapkan di Indonesia ini. Maka, memang sudah seharusnya dikoreksi,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, DPD RI menawarkan lima proposal kebangsaan. Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan Reformasi tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM (lebih lengkap lihat grafis di bawah).
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Brigjen Pol Amostian, Pengamat Ekonomi-Politik Dr Ichsanuddin Noorsy, Akademisi UI Dr Mulyadi dan Sekjen DPD RI Rahman Hadi beserta jajaran.
Sedangkan ICMI dihadiri Prof Arif Satria (Ketua Umum), Prof Muhammad Jafar Hafsah (Wakil Ketua Umum Bidang IPTEK, Agro-maritim dan Lingkungan Hidup), Andi Anzhar Cakra Wijaya (Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional, Politik dan Hukum), Prof Teuku Abdullah Sanny (Wakil Ketua Umum Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Umat), Dr Hery Margono (Wakil Sekretaris Jenderal).
Hadir pula Andi Faisal Bakti (Direktur CIDES ICMI), Welya Safitri (Ketua Umum Pengurus Pusat Perempuan ICMI), Dr Yulianto Syahyu (Direktur Lembaga Bantuan Hukum ICMI), Dr Ismail Ramadhan (Ketua Umum Pemuda ICMI), Sibawaihi (Direktur Program ICMI) beserta staf ICMI lainnya.
Proposal Kenegaraan DPD RI
Lima proposal penyempurnaan dan penguatan asas dan sistem bernegara Pancasila yang ditawarkan DPD RI adalah sebagai berikut:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya diisi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan ruang pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Komentar