Agar Kasus Cirebon Tak Terulang, Emma Yohanna Imbau Ormas Minang dan Pemprov Sumbar Bertindak!

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Ketua Perempuan Indonesia Maju atau PIM, Hj. Emma Yohanna minta warga Cirebon asal Sumatera Barat atau Sumbar menghentikan aksinya mencopot merk “Masakan Padang” di berbagai Rumah Makan Masakan Padang di Cirebon, Jawa Barat.

Selain itu, Emma juga mengingatkan para perantau Minang di mana pun berada tidak meniru apa yang sudah terjadi di Cirebon, karena berpotensi gaduh kerawanan sosial di antara anak bangsa.

“Sejarah mencatat, kehadiran perantau Minang di mana pun mereka berada belum pernah jadi pemicu gejolak sosial. Predikat itu harus dipertahankan, sebab kehadiran perantau Minang selama ini justru menjadi inspirator kemajuan ekonomi kerakyatan dan pemersatu bangsa,” kata Emma Yohanna, saat dihubungi, Senin (4/11/2024).

Mantan Anggota DPD RI itu menjelaskan, menjamurnya Rumah Makan Padang yang dijamin kehalalannya di semua pelosok negeri ini merupakan satu ke kabanggaan moral dan keunggulan tersendiri bagi etnis Minang, baik yang ada di kampung maupun di perantauan.

Terkait keberadaan Rumah Makan Masakan Padang yang didirikan oleh masyarakat yang kebetulan tidak berdarah Minang, hendaklah dipahami sebagai sukses masyarakat Minang dalam budaya kuliner.

“Idealnya yang bisa diawasi secara moral adalah soal bahan-bahan yang digunakan saat memproses masakan. Misalnya bahan makanan yang tergolong tidak halal lalu dikemas dengan label Masakan Padang. Ini jelas bertentangan ‘Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandikan Kitabullah’. Ini memang harus dihentikan secara persuasif, atau melaporkannya ke instansi terkait,” tegasnya.

Mengenai paket Masakan Padang dengan harga ekonomis Rp10 ribu, yang menjadi pemicu swiping, menurut Emma jangan diulangi lagi. “Sebab sebagai UMKM tentu saudara-saudara kita non-Minang itu punya hitungan-hitungan tersendiri, misalnya mereka tidak menghitung warung sebagai beban usaha karena memang sudah milik mereka,” ujar Mantan Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, Sumatera Barat itu.

Lagi pula, kata Founder Rumah Gadang ini, beraninya orang non-Minang membuka usaha Rumah Makan Masakan Padang tidak ujug-ujug. Pasti ada “benang merahnya”.

“Semua Rumah Makan Masakan Padang yang dibuka oleh non-Minang pasti ada riwayat yang cukup kuat dan mudah untuk dipahami. Dari penelusuran dan dialog Saya dengan mereka, pasti ada di antara keluarga mereka yang awalnya belajar dan bekerja sebagai juru masak Rumah Makan Masakan Padang dalam kurun waktu cukup panjang. Bahkan ada yang sampai 20 tahun bekerja sebagai juru masak hingga baru percaya diri untuk membuka usaha Rumah Makan Masakan Padang di tanah kelahirannya,” ungkapnya.

Soal turunnya omset Rumah Makan Padang yang dikelola oleh etnis Minang, kata Emma, itu adalah kondisi sesaat yang tidak bisa dilepaskan dari fluktuasi ekonomi masyarakat setempat.

“Kalau selama ini penghasilannya dirasa cukup membeli Masakan Padang yang sangat khas, tentu mereka akan tetap mengonsumsinya. Sebaliknya, kalau penghasilannya menurut, boleh-boleh saja kita cari opsi yang relatif lebih murah namun tetap ada nuansa Masakan Padang. Ini kan soal pilihan saja yang sesuai dengan kondisi riil ekonomi,” kata Emma.

Terakhir, Emma berharap agar semua institusi yang ada kaitannya dengan “Keminangkabauan” di bawah koordinasi Pemprov Sumbar segera menjalankan tugas dan fungsinya guna menghentikan aksi larangan dan swiping Rumah Makan Masakan Padang non-Minang, sebelum kejadian serupa melebar ke daerah-daerah lainnya.

“Saya menghimbau, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau atau (LKAAM), Badan Koordinasi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Adat Alam Minangkabau atau BK3AM, hingga Ikatan Keluarga Minang setempat segera bermusyawarah guna mencegah peristiwa serupa terjadi di daerah-daerah lainnya,” pinta Emma Yohanna.

Komentar