LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Kasus seorang remaja MAS (14 tahun) di Lebak Bulus Jakarta Selatan, yang membunuh Ayah dan Nenek serta melukai ibunya, karena didorong oleh adanya bisikan gaib bukan saja menambah deret panjang kasus anak berhadapan dengan hukum, tetapi juga menjadi pengingat bahwa ada persoalan tentang kesehatan jiwa (mental) pada masyarakat khususnya pada anak bangsa kita.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komite III DPD RI Erni Daryanti, di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12/2024), menyikapi berbagai kasus gangguan jiwa atau mental yang melibatkan anak.
Kemenkes dalam publikasinya di tahun 2019 menyebut penyakit gangguan jiwa (mental) merupakan salah satu jenis penyakit yang berkontribusi besar dalam menyebabkan kematian penduduk Indonesia selain penyakit kardiovaskuler, penyakit neoplasma, penyakit infeksi pernapasan –tuberkolosis. Beberapa jenis gangguan jiwa yang dialami oleh penduduk Indonesia antara lain gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan perilaku dan autis.
Dari berbagai jenis tersebut, gangguan depresi menduduki urutan pertama dalam 3 dekade. Gangguan depresi itu dialami oleh semua kelompok usia penduduk di Indonesia.
Merujuk Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukan gangguan depresi terjadi sejak rentang usia remaja (15-24 tahun) dengan prevalansi 6,2%. Pola prevalansi depresi meningkat seiring dengan peningkatan usia. Tertinggi umur di atas 75 tahun prevalansi 8.9%. Jumlahnya cenderung mengalami peningkatan.
Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Hal senada diungkap oleh UNICEF. Sekitar 29 persen orang muda berusia 15-24 di Indonesia menyatakan sering merasa depresi atau tidak berminat. 6,2 persen pelajar perempuan dan 4 persen pelajar laki-laki berusia 13-15 tahun menyatakan serius mempertimbangkan upaya bunuh diri.
Terkait perilaku untuk meminta bantuan, dalam rentang umur 15-19, sebanyak 57 persen menyebut enggan meminta bantuan karena takut kondisi kesehatannya diketahui umum dan 22 persen beranggapan tindakan terapi atau bantuan psikologis akan berdampak negative pada rasa percaya dan masa depan.
“Mengutip data-data tersebut, tak heran jika peristiwa keji dan di luar nalar manusia normal dan sadar seperti bunuh diri, orang tua membunuh anak atau sebaliknya, suami membunuh istri atau sebaliknya, pemerkosaan dalam keluarga (dilakukan oleh ayah, paman, kakek bahkan kakak sendiri), selalu hadir di lingkungan sekitar, baik melalui pemberitaan di media atau muncul dalam timeline sosial media kita. Indonesia darurat kesehatan jiwa,” ujar Erni Daryanti.
Senator asal Kalimantan Tengah itu menegaskan, dengan diundangkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, seharusnya Indonesia tidak perlu khawatir tentang penanganan dan layanan kesehatan jiwa bagi seluruh warga negara.
“Apalagi ada program Transformasi Kesehatan yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan. Kesehatan Jiwa sebagai sub sistem dari Sistem Kesehatan Nasional, sejatinya harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pencanangan dan pelaksanaan program Transformasi Kesehatan,” kata Erni Daryanti.
Namun faktanya hingga saat ini lanjutnya, kesehatan jiwa merupakan permasalahan kesehatan yang belum terselesaikan di tengah masyarakat dan di tingkat nasional. Pemerintah harus serius menangani persoalan kesehatan jiwa, khususnya pada anak dan remaja, mengingat target Indonesia Emas yang harus di capai pada 2045.
Menurut Senator yang juga dokter itu, program Quick Win Kesehatan Presiden Prabowo berupa pembangunan dan revitalisasi rumah sakit juga menyasar Rumah Sakit Jiwa sebagai rumah sakit khusus di daerah yang memberi layanan pencegahan gangguan kesehatan jiwa melalui konseling psikologi.
Hingga saat ini ada 8 provinsi yang belum memiliki RS Jiwa yaitu Papua Barat, Sulawesi Barat, Gorontalo, Kalimantan Utara. Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Barat Daya.
“Mengapa harus ada minimal 1 Rumah Sakit Jiwa di daerah?, karena perintah Pasal 52 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa. Selain itu RS Umum dengan layanan psikiatri jumlahnya juga masih terbatas. Saat ini baru 318 dari 720 RSUD yang memiliki layanan psikiatri,” ungkap Erni Daryanti.
Komentar