Pemerintah Dinilai Sangat Reaktif Sikapi Tindak Kekerasan di Pesantren

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq menilai Pemerintah terlalu reaktif menyikapi munculnya tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di pondok pesantren dibanding dengan tanggung jawabnya menjaga pesantren.

Hal itu dikatakan Maman dalam Dialektika Demokrasi bertajuk “Mengawal Komitmen Kementerian Agama dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak“, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (6/3/2025).

“Nah, tiba-tiba pemerintah sangat reaktif menyikapi peristiwa kekerasan terhadap anak yang terjadi di pondok pesantren, bahkan demikian juga halnya dalam merespon data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang merilis kasus kekerasan terhadap anak,” kata Maman.

Dia jelaskan, Kemen PPA merilis telah terjadi 28.831 kasus kekerasan terhadap anak, 24.000 korban di antaranya perempuan. Sisanya dialami oleh anak laki-laki berupa bullying, kekerasan seksual, trafficking dan penelantaran anak.

“Persoalannya, dari 28.831 kasus, tindak kekerasan terhadap anak di pesantren paling 0,00. Tetapi mohon maaf ini saya ke media, termasuk Medsos ada satu kasus di mana kasus itu sudah divonis pengadilan tapi terus saja di duplikasi dibumbui komentar-komentar robot dia bilang kita jadi ragunya memasukkan anak saya ke pesantren dan seolah pesannya sebagai korban,” ungkap Maman.

Padahal, lanjutnya, dari sekitar 40.000 pesantren kekerasan itu terjadi paling 0,002 persen, dan itu terjadi di pesantren yang tidak dapat pengawasan dari pemerintah serta ustaznya ustaz karbitan. “Makanya saya bilang sertifikasi kyai itu perlu,” pungkasnya.

Bukan Kyai Utama
Dalam forum yang sama, anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad menyesali terjadinya beberapa kasus tindak kekerasan oleh pengasuhnya berupa kekerasan seksual.

“Tapi itu jumlahnya sangat kecil. Jadi saya harus menetralisir. Saya harus memberikan klarifikasi, kenapa sekarang ini ada tindak kekerasan yang pelakunya hanya satu dua oknum dan biasanya bukan kyai utama,” ungkap Habib Syarif.

Dia tambahkan, kyai di pondok pesantren ada lapisan pertama lapisan kedua lapisan ketiga dan seterusnya dan seterusnya.

Tanpa Pengawasan
Sedangakan anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriyana Gantina mengatakan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan pesantren atau pendidikan keagamaan tidak bisa dilepaskan dari regulasinya harus tegas dan berorientasi pada perlindungan anak.

“Selain itu soal pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan karena hari ini kami mengakui pengawasan terhadap pendirian pondok pesantren yang kategorinya rumahan dan tidak berizin itu juga masih luput dari  pengawasan oleh Kementerian Agama baik itu Kanwil maupun Kemenag kabupaten/kota,” ujarnya.

Kasus tindak kekerasan pesantren di Kota Bandung, misalnya, sebetulnya kan harus ada pengawasan yang berkelanjutan dengan kriteria yang jelas, dilihat izinnya ada apa tidak, proses pendidikannya bagaimana?

“Hari ini ada ungkapan seolah-olah kalau kekerasan di pesantren itu adalah hal lumrah dalam rangka membentuk karakter dari anak tersebut. Menurut kami Kementerian Agama seharusnya juga melakukan pelatihan dan pendidikan kepada pengelolaan pesantren bahwa untuk menghukum santri itu tidak harus seperti itu tetapi ada nilai-nilai edukasi lain di luar yang mereka biasakan tentang bagaimana menghukum para santrinya tadi,” kata Selly.

Dia juga menyinggung partisipasi santri dan orang tua dalam pengawasan karena hari ini banyak korban kekerasan bukan hanya di pesantren tetapi di dunia pendidikan normal. Bahkan orang tua termasuk korban sulit untuk bisa melaporkan.

Masih dalam konteks pengawasan, Selly juga mendorong keterlibatkan dari Ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nu ada Persis. “Mereka seharusnya juga bisa dilibatkan dalam pengawasan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawah kementerian agama,” sarannya.

Dikatakannya, harus ada keberpihakan negara terhadap dunia pendidikan agama dan itu bukan hanya dibebankan kepada Pemerintah Pusat saja. Sebagai perbandingan, di bawah Kemendikdasmen ada SD, SMP, ada SMA. SD dan SMP itu menjadi kewenangan pemerintah kabupaten kota, SMA menjadi kewenangan provinsi serta perguruan tinggi kewenangan pusat.

“Sedangkan di dunia pendidikan di bawah Kementerian Agama ada pesantren, ada madrasah ibtidaiyah ada Tsanawiyah ada Aliyah kemudian ada pesantrennya, ini tidak ada keberpihakan kebijakan mereka, karena merupakan instansi vertikal, semua urusan anggaran diatur oleh Jementerian Agama, tanpa partisipasi Pemerintah Daerah. kalaupun ada Pemda yang peduli terhadap dunia pendidikan agama bentuknya hanya sekedar hibah,” ungkapnya.

Berbeda dengan pandangan tiga anggota DPR RI dalam memaknai “Mengawal Komitmen Kementerian Agama dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak”, pengamat pendidikan Andreas, dari Rumah Literasi 45, mengungkap perihal lemahnya komitmen pengasuh pesantren terhadap aspek kesehatan dan pemenuhan gizi.

Dikatakan Andreas, dalam banyak kasus, jika santri mengalami sakit ringan misalnya gatal pada kulit, solusinya cuma satu, santri disuruh pulang dulu untuk berobat dan bisa kembali ke pesantren setelah sembuh.

“Demikian juga halnya soal gizi untuk santri, menurut saya juga belum dapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pengelola pesantren,” imbuhnya.
Pengamat

Terakhir, Andreas mengungkap data bahwa muslim dan muslimmah di Indonesia ini adalah sebanyak 87 persen dan diperkuat dengan 40 ribu pesantren. “Cuma Indonesia tidak masuk dalam peringkat sepuluh besar Islami di dunia,” kata Andreas.

Komentar