Politikus PAN Sebut BP Batam Fasilitasi Intimidasi Warga Rempang

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Budaya feodalisme di tubuh PT Perkebunan Nusantara atau PTPN masih sangat kental, hingga menghambat penyelesaian sengketa tanah ulayat, sebagaimana yang terjadi di Desa Gobah, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau.

Hal itu dikatakan Anggota Komisi VI DPR RI Abdul Hakim Bafagih dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VI DPR RI dengan Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) dan Masyarakat Desa Gobah Kecamatan Tamban, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).

“Karakteristik feodalisme di tubuh PTPN itu masih kental. Di jajaran direksi utama memang sudah ada perubahan, tetapi perilaku di bawahnya masih seperti dulu,” kata Abdul Hakim Bafagih.

Untuk melawan arogansi dalam feodalisme itu, dia meminta perwakilan AMAR-GB dan Masyarakat Desa Gobah, Kecamatan Tamban untuk segera menyerahkan data terbaru, termasuk putusan pengadilan dan temuan lapangan, kepada Komisi VI DPR RI dalam beberapa hari ke depan untuk dipelajari lebih lanjut guna memperkuat upaya penyelesaian.

Politikus PAN itu juga mengingatkan pentingnya menjaga suasana kondusif dalam proses penyelesaian, mengedepankan kepala dingin, dan mencari titik tengah yang adil bagi semua pihak.

Dirinya menilai, di tengah situasi ekonomi yang sulit saat ini, sengketa lahan harus diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif agar dapat membuka peluang ekonomi baru di daerah tersebut.

“Kalau gontok-gontokan, tidak akan selesai. Syukur-syukur lahannya bisa dikembalikan atau diselesaikan melalui BPN, sehingga bisa membuka peluang baru bagi masyarakat,” sarannya.

Terkait pengembangan kawasan Rempang, Hakim menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara investasi dan kepentingan lokal. Ia mencontohkan pengalamannya di Lagoi, Bintan, yang meski maju secara pariwisata, namun sempat dianggap lebih menguntungkan wisatawan asing dibanding masyarakat lokal.

“Saya tidak ingin Rempang menjadi seperti Lagoi, Bintan, di mana orang lokal malah tersisih. Kita harus memastikan pengembangan Rempang tetap berpihak kepada masyarakat setempat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Hakim menyayangkan keterlibatan Badan Pengusahaan atau BP Batam yang diduga memfasilitasi intimidasi terhadap masyarakat dalam proyek Rempang Eco City.

Temuan tersebut, menurutnya, bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan relokasi sudah diselesaikan.

Karena itu, Hakim menegaskan Komisi VI DPR RI berjanji akan terus mendalami laporan dari masyarakat dan mengambil langkah konkret dalam pengawasan, termasuk memastikan agar tidak ada lagi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dalam proyek pembangunan nasional.

“Ini fakta baru. BP Batam justru terlibat dalam intimidasi kepada masyarakat. Ini tidak bisa dibiarkan,” pungkasnya.

Komentar