LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menimbulkan ketidakpastian hukum, akibat membuat Ultra Petita baru.
Sebab, MK menghapus ambang batas (threshold) syarat pencalonan kepala daerah, yaitu 20% kursi dan atau 25% suara, atas sesuatu yang tidak dimohonkan Partai Gelora selaku penggugat.
Menanggapi hal ini, Fahri Hamzah Wakil Ketua Umum Partai Gelora mengatakan, permohonan uji materiil UU Pilkada yang diajukan Partai Gelora bertujuan mengakomodasi suara rakyat ketika rakyat mencoblos di Pemilu, maka suaranya menjadi bermakna.
“Selama ini yang boleh mengajukan calon ini hanya partai yang punya kursi (DPRD), sekarang yang tidak punya kursi pun bisa mengajukan calon, sejauh persentasenya dicukupkan,” kata Fahri Hamzah, dalam keterangannya, Kamis (22/8/2024).
Karena itu, Fahri menyebut putusan MK, tersebut bagus, akomodasi bagi kepentingan rakyat banyak. Ia juga menegaskan bahwa gugatan ini tidak terkait dengan calon tertentu, tapi bagian dari akomodasi terhadap suara rakyat pemilih Partai Gelora.
“Saya kira karena gugatan ini baru bulan Juni, bulan lalu menjelang Pilkada, karena kita ingin sebagai partai yang penting rakyat memilih kita maka seharusnya suaranya dihitung,” imbuhnya.
Seperti diketahui, MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas (threshold) syarat pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di Pilkada.
Dalam putusannya MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon.
Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam Pemilu di daerah yang bersangkutan.
“Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo, membacakan amar putusan untuk perkara yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora Indonesia itu di Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Partai Buruh dan Partai Gelora mempersoalkan konstitusional Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Dalam pasal itu, partai politik yang bisa mengajukan calon hanya yang memiliki kursi di DPRD wilayah tersebut.
Sedang pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Karena keberadaan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, maka MK menyatakan harus juga menilai konstitusional yang utuh terhadap Pasal 40 ayat (1).
Dengan demikian, MK memutuskan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang telah dijabarkan MK.
Komentar