Teuku Riefky: Strategi Pemerintah Hadapi Kebijakan Uni Eropa Soal Ekspos CPO Sudah Tepat

JAKARTA – Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Teuku Riefky mengatakan, bahwa kebijakan Uni Eropa dikhawatirkan akan menghambat ekspor sejumlah produk Indonesia, termasuk kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).

Menurut Riefky, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan Uni Eropa terkait produk CPO Indonesia. Salah satunya adalah aspek deforestasi yang menjadi dasar bagi Uni Eropa untuk mengatur produk-produk yang masuk ke wilayahnya.

“Memang ada betulnya aspek deforestasi ini, dan produk kelapa sawit yang berkelanjutan serta kelestarian hutan masih menjadi isu yang perlu diperbaiki oleh pemerintah Indonesia,” ungkapnya, Kamis (7/9).

Namun, Riefky juga menyoroti aspek politis dalam kebijakan Uni Eropa ini. “Uni Europa juga menghasilkan produk-produk yang menjadi kompetitor dari produk CPO, seperti Refined dan Sunflower. Sehingga, ada unsur politik ekonominya di sini yang membuat adanya kepentingan Uni Eropa dari aspek deforestasi untuk melakukan bench terhadap produk CPO Indonesia,” jelasnya.

Dalam konteks ini, Riefky melihat bahwa langkah pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk membuka pasar ekspor lainnya sebagai tindakan yang tepat.

“Saya rasa langkah pemerintah sudah betul, untuk membuka pasar ekspor lainnya, seperti ke Afrika dan ke berbagai negara lainnya. Upaya Uni Eropa ini memang ekspansif dalam membatasi ekspor produk-produk Indonesia,” tegasnya.

Selain itu, masalah lain yang menjadi perhatian Uni Eropa adalah tambang nikel di Indonesia. Riefky berpendapat bahwa pemerintah Indonesia seharusnya terus memperbaiki aspek keberlanjutan dan kelestarian hutan dalam industri nikel.

“Disisi lain, untuk mendukung produk kita tetap kompetitif dan menghasilkan manfaat bagi Indonesia, tentu sulit bagi Uni Eropa. Maka saya rasa sudah benar untuk mencari pasar baru dalam perdagangan internasional,” ungkapnya.

Riefky juga menekankan pentingnya melihat perkembangan situasi dengan cermat. “Kita perlu terus memantau perkembangan kebijakan Uni Eropa dan bagaimana kita dapat menghasilkan produk yang produktif serta meningkatkan aspek ekonomi dalam perdagangan internasional,” tambahnya.

Dalam menghadapi perubahan kondisi perdagangan global, Indonesia perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi ekspor produk-produknya. Uni Eropa sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar ekspor, terutama dalam hal produk kelapa sawit dan nikel.

Pemerintah Indonesia harus menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kepentingan ekonomi nasional. Langkah-langkah strategis seperti diversifikasi pasar ekspor dan perbaikan aspek-aspek yang diperlukan dalam industri harus menjadi bagian dari rencana jangka panjang.

“Dengan begitu, Indonesia dapat terus beradaptasi dengan dinamika perdagangan internasional sambil menjaga keberlanjutan lingkungan dan ekonomi negara,” tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyindir kebijakan Uni Eropa yang diskriminatif terhadap sawit Indonesia. Sebagai informasi, ekspor sawit ke Uni Eropa terancam terhambat karena adanya undang-undang anti deforestasi (EUDR).
Kebijakan itu mengharuskan produk yang masuk ke Uni Eropa terbebas dari deforestasi atau tidak mempengaruhi kelestarian hutan. Sawit sebagai produk unggulan ekspor Indonesia dinilai menyebabkan deforestasi oleh Eropa.

“Kami punya CPO, ketika Eropa mengatakan karena lingkungan dan macam-macam, kita bikin B20, B30, B40. Tapi ketika larangan ekspor CPO ke Eropa, ribut juga itu barang. Maunya kita ekspor,” katanya dalam ASEAN Investment Forum di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (2/9/2023). (***)

Komentar