Soal RUU Pemilu, DPR dan Pemerintah Dinilai Tak Kompak

JAKARTA – Proses pembahasan Revisi Undang-Undang Pemilu sudah di luar dugaan. Padahal kata peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro, saat pertemuan seluruh pakar Hukum Tata Negara pada 2014 di Kota Sawalunto, Sumatera Barat, berharap agar RUU Pemilu selesai pada akhir tahun 2016.

Penting strategisnya RUU Pemilu harus selesai pada akhir tahun 2016 ujar Guru Besar politik itu, mengingat Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun 2019 digelar serentak dan ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Tapi karena target tersebut tidak tercapai, Siti menilai Pemerintah dengan DPR tidak kompak.

“Ini bukti bahwa DPR dengan Pemerintah tidak kompak”, kata Siti, dalam Forum Legislasi “Ending RUU Pemilu?”, di Media Center DPR, Senayan Jakarta, Selasa (11/7/2017).

Selain tidak kompak lanjutnya, alotnya pembahasan RUU Pemilu juga dapat dijadikan indikasi bahwa DPR dan Pemerintah tidak berorientasi kepada penguatan sistem presidensil. “Konteks itu yang tidak mereka pertimbangkan,” tegas dia.

Bahkan Siti juga mengkritisi sikap pemerintah yang hingga hari ini masih memaksakan berlakunya ambang batas (president treshold) pasangan calon presiden sebesar 20 persen dalam Pemilu serentak 2019.

Padahal imbuhnya, Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan amar putusan bahwa dalam Pemilu serentak president treshold haru nol.

“Kalau visi RUU Pemilu untuk penguatan sistem presidensil dan melaksanakan amar putusan MK, maka pemilu 2019 sungguh-sungguh akan berkualitas karena tidak ada ancaman munculnya calon tunggal,” tegasnya.

Lebih lanjut, dia mempertanyakan tentang siapa yang diuntungkan dengan konflik pembahasan RUU Pemilu ini. “Kalau saya dari dulu sudah bersikap tidak relevan lagi president treshold itu. Jadi harus gunakan nalar sehat. Baik DPR dan pemerintah harus kembali ke laptop agar hubungan kekuasaan dengan rakyat tidak putus,” pungkasnya. (zul)

Komentar