Jakarta, liputan.co.id – Terbatasnya kapasitas rekaman perangkat lunak (software) Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) bakal mengancam suksesnya proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018.
Hal tersebut dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy, usai rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), di Gedung DPR RI, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (23/8/2017).
“Kapasitas rekaman software KTP elektronik hanya untuk 170 juta data pemilih. Sedangkan Pilkada serentak 2018 diikuti oleh 171 daerah di Indonesia dengan data pemilihnya pasti lebih dari 170 juta,” kata Lukman.
Mengapungnya masalah keterbatasan kapasitas terpasang software KTP-el lanjutnya, menyusul meninggalnya Johannes Marliem saksi kasus KTP-el di Komisi Pemberantasan Korupsi yang hingga kini belum jelas penyelesaian alat rekam kependudukan tersebut.
“Tadi kita sampaikan, ada persoalan lain yang me-warning Kementerian Dalam Negeri berkenaan dengan akan berhentinya perekaman data penduduk, yaitu persoalan internal KTP elektronik. Ada Johannes Marliem yang meninggal. Kemudian ada tagihan kepada Indonesia yang tidak bisa dibayar. Ada juga persoalan teknis bahwa perekaman itu ada batasnya. Kami khawatir begitu software yang dibuat ini tidak bisa merekam lagi, apa antisipasinya. Ini menyangkut jutaan pemilih yang tidak bisa direkam,” tegas Lukman.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menjelaskan, bila software tidak bisa berfungsi lagi, maka anak-anak yang akan berusia 17 tahun di bulan Agustus 2018 nanti dipastikan tidak bisa direkam datanya.
Sementara mereka yang sudah berusia 17 tahun akan masuk dalam daftar pemilih untuk Pilkada serentak 2018. Apalagi, UU Pilkada Pasal 200A mengamanatkan pada akhir 2018, basis data pemilih harus sudah menggunakan KTP elektronik sebab surat keterangan untuk memilih tidak berlaku lagi.
“Dalam UU Pilkada Pasal 200A jelas mengatakan, akhir Desember 2018, 100 persen harus sudah menggunakan data kependudukan berdasarkan KTP elektronik. Tidak menerima bentuk surat keterangan kependudukan yang lain. Karena ini Pilkada terakhir, maka peraturan KPU dan peraturan Bawaslu harus mendorong progres penerapan 100 persen KTP-elektronik itu,” ujar dia.
Selain itu, wakil rakyat dari daerah pemilihan Provinsi Riau II ini juga mempersoalkan transisi kelembagaan Bawaslu di semua tingkatan. Dalam UU Pemilu ujarnya, ada perubahan eksistensi kelembagaan Bawaslu pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga desa. “Masalahnya, rekrutmen keanggotaan Bawaslu juga belum jelas. Ini jadi isu penting yang dikritisi para anggota Komisi II,” tegasnya.
Terakhir dia ingatkan, kelembagaan dan kewenangan Bawaslu sudah berubah. Karena itu, Bawaslu perlu menyusun road map berkenaan dengan masa transisi ini menuju mekanisme kelembagaan yang baru. “Sebelum Pilkada serentak 2018, persoalan ini harus sudah jelas tergambar, karena Pilkada serentak tinggal beberapa bulan lagi,” pungkasnya.
Komentar