LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI Yanuar Arif Wibowo menyatakan penghasilan dari transportasi online atau ojek online (Ojol) bukan lagi sebagai penghasilan sampingan. Masalahnya, sebagai profesi, Ojol hingga kini belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
“Namun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) belum mengakomodasi keberadaan transportasi berbasis aplikasi yang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir,” kata Yanuar Arif Wibowo, dalam Forum Legislasi bertajuk “Revisi UU LLAJ Diharapkan Mengatur Status Hukum Pengemudi Transportasi Online Hingga Tarif Layanan”, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Politikus PKS itu menjelaskan, Komisi V DPR RI tengah memproses revisi UU tentang LLAJ guna memberikan kepastian hukum bagi driver Ojol, baik roda dua maupun roda empat, sekaligus meminimalisir ketimpangan regulasi yang membuat pengemudi Ojol rentan dieksploitasi, termasuk dalam sistem kemitraan dan potongan tarif.
“Sejak Ojol hadir, terjadi dinamika yang panjang, bahkan sampai konflik fisik di lapangan. Pemerintah harus cepat merespons perkembangan ini dengan regulasi yang adil,” ujarnya.
Selain itu, Yanuar juga menyoroti ketimpangan hubungan antara aplikator dan driver yang disebut sebagai ‘kemitraan’, tetapi dalam praktiknya lebih menyerupai hubungan kerja tanpa perlindungan.
Salah satu isu utama, lanjut Yanuar, adalah potongan tarif yang melebihi aturan, di mana seharusnya hanya 20% (15% untuk aplikator dan 5% untuk kesejahteraan driver), tetapi kenyataannya mencapai 25%.
“Tingginya potongan membuat driver sulit mendapatkan penghasilan yang layak. Padahal, sebagai mitra seharusnya mereka memiliki hak untuk berunding dan menentukan kebijakan bersama,” tambahnya lagi.
Selain membahas revisi UU LLAJ, Yanuar juga menyinggung kesiapan pemerintah dalam menghadapi arus mudik Lebaran 1446 H. Ia menyoroti upaya pemerintah dalam menurunkan harga tiket pesawat hingga 13-14% dengan mengurangi PPN dan biaya Passenger Service Charge (PSC).
Namun, ia berharap kebijakan ini tidak hanya berlaku saat musim mudik, tetapi juga diterapkan secara berkelanjutan untuk menekan harga tiket pesawat. Seraya juga menegaskan pentingnya koordinasi antarinstansi seperti Kementerian Perhubungan, PUPR, Kakorlantas, BMKG, dan Basarnas dalam memitigasi risiko bencana selama arus mudik.
“Kita harus pastikan mudik tahun ini aman dan lancar, terutama dengan cuaca yang tidak menentu seperti potensi longsor dan banjir,” pungkasnya.
Omongan Jokowi
Dalam acara yang sama, pengamat transpor Darmaningtyas menjelaskan saat berlangsungnya revisi UU LLAJ tahun 2009 sudah ada diskusi soal driver Ojol ini. Namun kata Darmaningtyas, akhirnya pasal terkait Ojol tidak dimasukan karena roda dua tidak masuk dalam transportasi publik.
“Kalau Ojol dimasukan dalam UU LLAJ, berarti pemerintah mengakui eksistensi roda dua sebagai transportasi publik,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Menteri Perhubungan Iqnasius Jonan pada tahn 2015 mengeluarkan Surat Edaran Kementerian Perhubungan yang menegaskan motor bukan transportasi umum.
“Pagi hari terbit Surat Edaran tersebut. Tapi sorenya Presiden Jokowi menganulir SE itu usai pemilik aplikasi Gojek merapat ke Istana sehingga Ojol beroperasi berdasarkan omongan Jokowi yang menganulir SE Menhub,” ungkapnya.
Ironisnya, kata Darmaningtyas, Kemenhub tidak tahu jumlah Ojol yang sesungguhnya kata data ada di operator Ojol. Dengan masuknya Ojol dalam UU LLAJ nantinya, maka Kemenhub bisa tahu jumlah Ojol ini.
“Tapi hal itu tidak semudah yang dibayangkan karena yang menuntut Ojol diatur dalam UU adalah driver. Cuma driver tidak tahu harus kemana melaporkannya. Kalau aplikator rasanya tidak mau diatur karena akan mengganggu penghasilan mereka,” imbuh Darmaningtyas.
Komentar