Gaya Trump Seperti Mabuk, Politikus PDI-P: Negosiasi yang Bisa Selamatkan Industri Kita

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Pemerintah Indonesia diingatkan tidak gegabah dalam merespons rencana tarif resiprokal yang akan diberlakukan Amerika Serikat terhadap ribuan produk ekspor Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto, saat jadi narasumber di acara Dialektika Demokrasi bertajuk “Kebijakan Tarif Resiprokal AS, Apa Dampak Ekonomi dan Politik Bagi Indonesia dan Bagaimana Solusinya?”, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Politikus PDI-Perjuangan itu menegaskan, Indonesia tidak berada dalam posisi kuat untuk melakukan tindakan balasan atau retaliasi terhadap Amerika Serikat.

“Kalau tarif ini jadi diterapkan, pukulannya akan sangat besar. Ada sekitar 3.840 produk Indonesia yang selama ini menikmati tarif 0% untuk masuk ke Amerika Serikat. Kalau itu hilang, kita pasti terpukul,” tegas Darmadi.

Dikatakannya, sektor industri tekstil dan mebel sebagai sasaran yang akan paling menderita jika kebijakan tarif tersebut benar-benar diberlakukan.

“Ekspor tekstil hampir 60% ke Amerika Serikat. Industri ini menyerap hampir 4 juta tenaga kerja. Mebel dan perabotan juga sama, sekitar satu juta pekerja. Kalau negosiasi gagal, PHK dan pengangguran bisa terjadi secara massif,” ungkapnya.

Darmadi mengumpamakan posisi Indonesia sebagai “kolam kecil” dibandingkan dengan kekuatan besar seperti Tiongkok yang mampu memberi tekanan balik signifikan terhadap Amerika Serikat.

“China berani karena mereka itu ‘samudra besar’. Kita ini masih kolam kecil. Jadi satu-satunya jalan adalah negosiasi yang efektif, bukan perlawanan terbuka,” tegasnya.

Lebih lanjut, Darmadi juga mengkritik kondisi ekonomi dalam negeri yang dinilainya masih dibayang-bayangi praktik korupsi dan kebijakan yang tidak merata, terutama dalam hal kuota impor.

“Kuota itu jadi monopoli. Bukan dibagi merata, tapi hanya ke satu pihak. Itu disebut langsung oleh Prabowo Presiden, bahkan ada rencana kuota untuk anggur, salmon, sampai beras khusus,” ujarnya.

Tak hanya soal kuota, Darmadi menyoroti masalah teknis dalam birokrasi seperti proses izin pertek dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang kerap berlarut-larut.

“Service level agreement pertek itu seharusnya lima hari, tapi faktanya bisa sampai dua bulan. Ini karena sistemnya sudah rusak,” ungkapnya.

Ia juga mewanti-wanti soal perlambatan ekonomi di Tiongkok yang bisa memberi efek domino ke ekonomi Indonesia.

“Kalau ekonomi China turun 1%, PDB Indonesia bisa ikut turun 0,3%. Dan China sedang melambat. Ini harus jadi perhatian serius pemerintah,” sarannya.

Darmadi pun menekankan pentingnya posisi negosiasi yang tegas dan rasional dari pemerintah Indonesia, tanpa terbawa emosi dalam menghadapi kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang fluktuatif.

“Gaya Trump itu seperti orang mabuk, kadang mau nego, kadang marah-marah. Tapi kita tidak boleh ikut mabuk. Kita harus tegas jaga kepentingan bangsa,” pungkasnya.

Komentar