LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menyatakan, secara filosofis kehadiran RUU Perampasan Aset mengisyaratkan bahwa sedang terjadi pergeseran hukum yang tidak cuma menghukum terpidana, tapi juga merampas hasil kejahatannya.
Pasalnya menurut Suparji, hasil kejahatan tidak boleh dinikmati oleh siapa pun. Karena itu, hasil kejahatan harus dirampas oleh negara.
Dari sisi yuridis menurut Suparji, semua ketentuan perundang-undangan termasuk KUHP, memang belum mampu merampas aset hasil korupsi, misalnya terpidana meninggal dunia.
“Masalahnya, bagaimana meregulasinya, pertama RUU Perampasan Aset tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Jangan sampai orang yang sudah bekerja keras, lalu asetnya dirampas oleh negara. Pasal 28 H, UUD 45 menjamin itu,” kata Suparji, dalam Forum Legislasi bertajuk “Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset”, di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Karena objek rampasan adalah harta lanjutnya, maka perspektif yang dipakai adalah keperdataan. Tapi yang lebih penting tidak menimbulkan masalah baru, seperti bertentangan dengan hak asasi manusia.
Kata kuncinya kata Suparji, adalah pemerintah. Jika pemerintah berkehendak maka UU Perampasan Aset akan terealisir secara baik dan tidak cuma jadi sekedar rancangan undang-undang.
“Kalau pemerintah berkehendak pasti itu terwujud karena komposisi DPR saat ini sangat memungkinkan. Sebaliknya, kalau target pemerintah cuma sebatas RUU, maka terpidana cenderung menjalani hukuman dua tahun dari pada membayar ganti rugi negara misalnya Rp2 miliar,” pungkas Suparji.[liputan.co.id]_(Fas)
Komentar