Pisahkan Pelaksanaan Pemilu, MK Dinilai Berpotensi Turunkan Derajat Kewenangannya

LIPUTAN.CO.ID, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah kontradiktif dengan Putusan MK sebelumnya pada tahun 2019. Menurut Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, ada sejumlah poin penting dalam mencermati implikasi dari putusan MK tersebut.

“Putusan MK kali ini terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya, terutama Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan Pemilu. Sekarang, MK justru menetapkan sendiri satu model, yaitu Pemilu pusat dan Pemilu lokal yang dipisahkan,” kata Rifqi dalam rilisnya, Selasa (1/6/2025).

Langkah MK tersebut, kata Rifqi, berpotensi menurunkan derajat kewenangannya dari yang semestinya hanya menguji konstitusionalitas norma, menjadi pembentuk norma baru dalam sistem kepemiluan nasional. Padahal, implementasi dari model keserentakan sudah dijalankan pada Pemilu 2024.

“Pemilu 2029 masih jauh dan revisi UU Pemilu belum dilakukan. Tapi MK justru menetapkan model Pemilu nasional dan lokal dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun. Ini bukan lagi open legal policy yang diberikan kepada DPR dan pemerintah,” ujarnya.

Rifqi juga menyoroti pentingnya menelaah lebih lanjut dasar pembentukan norma dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (4) yang menyebut bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan secara eksplisit melalui pemilihan umum. Artinya, prinsip original intent dan tafsir konstitusi mesti menjadi pijakan utama dalam mengkaji lebih dalam putusan MK.

“Kami ingin tahu, kenapa pembentuk UUD memilih istilah ‘dipilih secara demokratis’ ketimbang ‘melalui Pemilu’. Lalu, dalam putusan terbarunya MK justru menilai bahwa Pilkada harus dilakukan langsung dan disandingkan dengan pemilihan anggota DPRD. Ini menimbulkan pertanyaan konstitusional yang tidak sederhana,” tegasnya.

Politikus Partai NasDem itu juga mengingatkan potensi pelanggaran konstitusi apabila Pemilu daerah baru digelar pada 2031, sementara Pemilu Nasional dilaksanakan pada 2029. Artinya, masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD bisa diperpanjang melebihi lima tahun, yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi.

“Jika Pemilu lokal dilaksanakan pada 2031, maka muncul pertanyaan besar: apa dasar hukum memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD? Padahal konstitusi menyatakan Pemilu dilakukan lima tahun sekali,” ujarnya.

Komisi II DPR RI masih akan melakukan kajian mendalam terhadap putusan tersebut dan belum mengambil sikap resmi. Namun Rifqi menegaskan, prinsip partisipasi bermakna dan kepatuhan pada konstitusi akan menjadi pijakan utama dalam pembahasan revisi UU Pemilu mendatang.

Komentar