Jakarta, liputan.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai gagal melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Kegagalan ini terjadi karena lembaga antirasuah itu tidak melakukan fungsi supervisi dan koordinasi secara bersamaan kepada semua kementerian sebagai upaya agar tidak terjadi korupsi berkesinambungan.
Hal itu dikatakan Profesor Romli Atmasasmita sebagaimana dilansir dalam rilis Biro Pemberitaan Parlemen, saat memberi keterangan sebagai ahli hukum pidana dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus Hak Angket DPR untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (11/7/2017).
“Dalam pengamatan saya, KPK tidak menjalankan fungsi koordinasi supervisi maupun pencegahan. Bahasa saya KPK gagal dalam strategi pencegahan,” kata Romli saat RDPU, dipimpin Wakil Ketua Pansus KPK, Dossy Iskandar.
Menurut pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung itu, semua aksi penindakan harus dibarengi pencegahan. “Saya tidak melihat aksi pencegahan dilakukan KPK,” tegasnya.
Untuk itu, Romli menyarankan fungsi pencegahan sebaiknya dikembalikan kepada lembaga Ombudsman Republik Indonesia. “Saran ini perlu segera dipertimbangkan Pemerintah dan DPR. Fungsi pencegahan, memang harus dikeluarkan dari Undang-Undang KPK, sehingga tidak ada lagi koordinasi supervisi. KPK sebaiknya langsung saja pada penindakan,” ujarnya.
Dijelaskannya, fungsi pencegahan masuk ke KPK seiring dibubarkannya Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Ini gerbong kekuasaan baru bagi KPK setelah penindakan.
“Jadi intinya kalau saya lihat, KPK lebih mementingkan penindakan daripada pencegahan. Semua strategi pencegahan KPK serimonial semata untuk menunjukkan KPK ada di sana. Tidak dimonitor secara terus menerus dan dicegah sampai tidak terjadi tindak pidana korupsi,” pungkasnya. (zul)
Komentar