LIPUTAN.CO.ID, Semarang – Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil meminta semua pihak tidak membenturkan TNI dan Polri dengan rakyat. Jika TNI dan Polri sudah berbenturan dengan rakyat, kata Nasir, kemana lagi rakyat akan mengadu?
Selain itu, membenturkan TNI dan Polri dengan rakyat, juga akan berbahaya bagi kepentingan Bangsa dan Negara. Karenanya, politikus PKS itu meminta pihak-pihak terkait untuk memberikan informasi yang terbuka kepada institusi yang diharapkan bisa mendukung kegiatan pembangunan.
Hal itu dikatakan Nasir, saat di sela-sela mengikuti Rapat Kerja Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi III DPR RI dengan Kapolda Jawa Tengah, Gubernur Jawa Tengah, Irdam IV/Diponegoro, Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasioanl (BPN) Jateng, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, di Mapolda Jateng, Semarang, Jumat (11/2/2022).
Kunjungan dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa guna merespons konflik yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kaabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
“Saya minta jangan jadikan TNI dan Polri sebagai pemadam kebakaran, kasus ini kan sebenarnya tugas pemerintahan sipil yang mengelola pemerintahan, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, jangan ada kemudian pikiran kita untuk membenturkan (TNI/Polri dengan rakyat). Saya tidak menunjuk hidung siapa, tapi kepada kita semua. Saya meminta pemerintah segera selesaikan hak-hak rakyat dengan mereka yang telah menyerahkan lahannya, karena sampai hari ini belum jelas,” tegas Nasir.
Selain itu, Nasir juga minta persoalan di Desa Wadas akibat pembangunan Bendungan Bener segera diselesaikan dengan pendekatan psikologis emosional. Kalau tidak, akan berpotensi menganggu keamaman dan ketertiban di tengah masyarakat, yang ujung-ujungnya nanti TNI dan Polri akan ikut terlibat lagi.
“Memang dalam UU Agraria, jika menyangkut proyek kepentingan nasional, negara berhak mencabut hak tanah masyarakat sesuai dengan aturan. Tapi kita harus ingat, bahwa hak milik itu di samping hak kepemilikan ada kandungan psikologis emosional, hal inilah yang tidak kita sentuh. Mari kita sentuh psikologis emosional warga, yang barangkali hari ini belum bisa menerima bahwa ada kandungan SDA di tempat mereka yang akan diambil. Saya percaya dengan begitu, masyarakat menerima dan mau berpartisipasi untuk pembangunan itu,” ujar Nasir.
Sebelumnya, Tim Komisi III DPR RI memantau dan berdialog dengan dua kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap rencana pembangunan strategis nasional di Desa Wadas. Namun, menurut Nasir, semua masyarakat sebetulnya setuju dengan pembangunan Bendungan Bener, tapi yang mereka tolak adalah untuk pertambangan quarry batu andesit, yang rencananya akan dijadikan bahan baku pembangunan waduk.
“Pertama, kami bertemu dengan masyarakat yang berdomisili di sekitar Bendungan Bener yang sudah setuju melepas lahannya. Tapi menurut mereka, sampai hari ini belum pernah sama sekali mendapatkan ganti rugi. Kelompok ini meminta bantuan kepada kami agar lahan yang diambil untuk pembangunan Bendungan Bener ini segera direalisasikan, karena sudah terlalu lama mereka menunggu,” ungkap Nasir.
Bahkan lanjutnya, ada kejadian jalan utama menuju area bendungan itu ternyata juga bermasalah, padahal lahan warga itu bukan menjadi bagian dari penetapan lokasi, tetapi sudah ada aktifitas dari kontraktor. Sehingga ada reaksi dari masyarakat menutup jalan akses tersebut.
“Jadi masyarakat bukan tidak mendukung pembangunan Bendungan Bener, tapi persoalannya adalah untuk kelompok pertama ini tidak ada kejelasan soal pembayaran lahan yang diambil oleh pemerintah di sekitar bendungan. Mereka sampai hari ini belum mendapatkan angka yang real berapa kompensasi yang akan mereka terima. Ketika BPN mau mengukur tanah, seharusnya sudah ada kesepakatan harga antara negara dan rakyat. Kami tadi tanya juga kepada warga yang setuju dengan pertambangan quarry, tapi memang belum ada harga yang pasti untuk ganti rugi tanah mereka,” jelasnya.
Kemudian, kata Wakil Rakyat dari daerah pemilihan Aceh itu, Tim Komisi III DPR juga menemui kelompok yang kontra terhadap pertambangan quarry batu andesit. Rata-rata masyarakat itu menolak kalau batu andesit dari tempat mereka itu diambil. Apalagi, analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang dikeluarkan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), sebetulnya ada alternatif penambangan batu andesit di daerah lain yang bisa dijadikan bahan baku.
“Jadi, masyarakat di sana sebenarnya bukan menolak Bendungan Bener, yang mereka tolak itu adalah penambangan quarry. Dengan beberapa alasan, seperti mereka ingin menjaga kearifan lokal dan karena mayoritas dari mereka bertani dan berkebun, sehingga mereka tidak setuju kalau lahan mereka digunakan untuk penambangan,” pungkas Nasir.[liputan.co.id]
Komentar